PERLINDUNGANDAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa Lingkungan Hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap Warga Negara Indonesia di manapun berada sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1)
Fasilitas pelayanan kesehatan adalah salah satu sumber yang menghasilkan volume limbah B3 yang besar dan merata di seluruh Indonesia. Menurut data dari Kemenkes RI tahun 2018, hanya 6,89% Puskesmas yang melakukan pengelolaan limbah medis sesuai dengan standar. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis proses pengelolaan limbah B3 medis padat di Puskesmas X Tahun 2020. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif melalui wawancara mendalam, observasi dan telaah dokumen. Informan penelitian sebanyak 8 orang, yang ditentukan berdasarkan teknik snowball sampling. Penelitian dilakukan dari bulan juni-juli 2020. Hasil penelitian yang diperoleh adalah kuantitas SDM cukup, namun kualitas SDM belum sesuai peraturan, sarana prasarana belum lengkap dan sesuai standar, biaya tidak mencukupi,SOP tersedia namun belum diperbaharui, pemilahan belum terlaksana secara optimal, alat angkut tidak tersedia dan waktu angkut tidak sesuai, penyimpanan sementara lebih 2 hari namun tidak menggunakan cold storage danpemusnahan dilakukan dengan metode pembakaran secara manual. Simpulan penelitian ini adalah pengelolaan limbah B3 medis padat di puskesmas X sudah terlaksana, namun belum memenuhi syarat sesuai dengan Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free HIGEIA 5 3 2021 HIGEIA JOURNAL OF PUBLIC HEALTH RESEARCH AND DEVELOPMENT Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun B3 Medis Padat Winda Kristanti1, Herniwanti1, Herlina Susmeneli1, Endang Purnawati Rahayu1, Nelson Sitohang2 1Kesehatan Masyarakat/Kesehatan Lingkungan/STIKes Hang Tuah Pekanbaru, Indonesia 2Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kota Pekanbaru, Indonesia Info Artikel ________________ Sejarah Artikel Diterima 20 Oktober 2020 Disetujui Agustus 2021 Dipublikasikan Juli 2021 ________________ Keywords Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan ____________________ DOI ____________________ Abstrak ___________________________________________________________________ Fasilitas pelayanan kesehatan adalah salah satu sumber yang menghasilkan volume limbah B3 yang besar dan merata di seluruh Indonesia. Menurut data dari Kemenkes RI tahun 2018, hanya 6,89% Puskesmas yang melakukan pengelolaan limbah medis sesuai dengan standar. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis proses pengelolaan limbah B3 medis padat di Puskesmas X Tahun 2020. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif melalui wawancara mendalam, observasi dan telaah dokumen. Informan penelitian sebanyak 8 orang, yang ditentukan berdasarkan teknik snowball sampling. Penelitian dilakukan dari bulan juni-juli 2020. Hasil penelitian yang diperoleh adalah kuantitas SDM cukup, namun kualitas SDM belum sesuai peraturan, sarana prasarana belum lengkap dan sesuai standar, biaya tidak mencukupi,SOP tersedia namun belum diperbaharui, pemilahan belum terlaksana secara optimal, alat angkut tidak tersedia dan waktu angkut tidak sesuai, penyimpanan sementara lebih 2 hari namun tidak menggunakan cold storage danpemusnahan dilakukan dengan metode pembakaran secara manual. Simpulan penelitian ini adalah pengelolaan limbah B3 medis padat di puskesmas X sudah terlaksana, namun belum memenuhi syarat sesuai dengan Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor Abstract ___________________________________________________________________ Health facility is one of the sources that produce a large volume of B3 waste and is evenly distributed throughout Indonesia. According to data from the Indonesian Ministry of Health in 2018, only of Health Centers carry out medical waste management according to standard. The purpose of this study was to analyze the process of managing B3 solid medical waste at the X Health Center, Rokan Hulu Regency i n 2020. This research used qualitative research methods through in -depth interview, observation and document review. Th e research i nformants were 8 people who were determined based on the snowball sampling technique. The Study was conducted from june -july 2020. The result obtained is an adequate number of human resources but the quality of human resources was not in accordance with the regulation, the infrastructure was incomplete and according to standard, the cost was insufficient, the standard operational system was available but not updated, the sorting had not been implemented optimally, the transportation means were not available and the transportation time was not suitable, temporary storage is more than 2 days but does not use cold storage and destruction is carried out using the manual combustion conclusion of thi s study is the management of B3 s olid medical waste at the X Health Center has been implemented but has not met the requirements according to the Minister of Environment and Forestry of the Republic of Indonesia Number © 2021 Universitas Negeri Semarang  Alamat korespondensi No. 5, Kesehatan Masyarakat/Kesehatan Lingkungan/STIKes Hang Tuah Pekanbaru, Riau 28281 E-mail windakristanti03 p ISSN 1475-362846 e ISSN 1475-222656 Winda, K., et al. / Pengelolaan Limbah Bahan / HIGEIA 5 3 2021 427 PENDAHULUAN Limbah pelayanan kesehatan adalah sisa buangan akhir dari hasil kegiatan instansi kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan dan laboratorium Pruss, 2005. Bahan berbahaya dan Beracun B3 merupakan zat yang memiliki sifat, konsentrasi dan jumlah, baik secara langsung maupun tidak langsung yang dapat mencemarkan atau membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia atau mahluk hidup lain. Limbah B3 adalah sisa suatu kegiatan yang mengandung B3 Permen LHK, 2015. Limbah Medis adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan medis dapat dalam bentuk padat, cair atau gas. Sedangkan limbah medis padat merupakan jenis limbah yang memiliki bentuk padat Kepmenkes, 2004. Pengelolaan limbah B3 medis di fasilitas pelayanan kesehatan harus direncanakan dan dilaksanakan dengan baik, karena memiliki potensi pencemaran terhadap lingkungan dan ancaman bagi kesehatan manusia akibat limbah yang tidak terkelola sangat berbahaya. Salah satu sumber yang menghasilkan volume limbah B3 yang besar dan merata di seluruh Indonesia adalah pada seluruh kota dan provinsi di Indonesia. Hasil pengawasan menunjukkan bahwa proses pengelolaan limbah B3 medis Fasyankes belum terlaksana sesuai dengan standar, seperti adanya penyimpanan limbah infeksius yang dikumpulkan tidak pada tempatnya, penumpukan limbah Fasyankes, tempat penyimpanan sementara yang tidak memenuhi standar, dan menggunakan insinerator yang tidak sesuai ketentuan mengeluarkan asap hitam dan emisi pencemar dan proses pembakaran yang tidak sempurna Kemen LHK, 2018. Di Negara-negara berkembang, limbah medis belum mendapat perlakuan khusus, penanganannya masih cenderung dicampur dengan limbah domestik Silva, 2004. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bassey 2006 pada lima rumah sakit di Federal Capital Territory, Abuja Nigeria, didapatkan hasil pengelolaan limbah dilakukan dengan cara dibakar dalam insinerator sebesar 18,3%, dikubur 9,1%, limbah dibakar dengan lubang terbuka 36,3 % dan dibuang ke tempat pembuangan kota 36,3%. Di Indonesia, jumlah fasilitas pelayanan kesehatan semakin meningkat, pada bulan oktober 2018 tercatat sebanyak rumah sakit dan Puskesmas. Limbah B3 yang dihasilkan dari fasilitas pelayanan kesehatan khususnya rumah sakit dan Puskesmas sebesar 296,86 ton/perhari. Jumlah ini jauh dari kapasitas pengelolahan yang dimiliki oleh pihak ke 3 yaitu sebesar 151,6 ton perhari. Hal ini disebabkan masih sedikitnya perusahaan pengelola limbah B3 yang memiliki izin dari KLH Kemenkes RI, 2019. Limbah medis Puskemas bersumber dari beberapa unit seperti gawat darurat, pelayanan kefarmasian, pelayanan leboratorium, perlayanan persalinan dan pelayanan imunisasi/vaksin. Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap limbah padat medis Puskesmas, didapatkan hasil rata-rata timbulan limbah medis sebanyak 7,5 gram/pasien/hari. Komposisi timbulan limbah medis Puskesmas yaitu imunisasi 65%, kontrasepsi 25% dan sisanya berasal dari perawatan medis. Walaupun benda tajam seperti jarum suntik jumlah yang dihasilkan sedikit, namun dapat menyebabkan dampak yang sangat besar terhadap kesehatan Adhani, 2018. Menurut penelitian Yulis, 2018 Puskesmas Tobelo belum melakukan pemilahan limbah B3 medis sesuai dengan ketentuan, tidak memiliki ruangan khusus untuk penyimpanan limbah B3 medis, belum adanya prosedur penguburan limbah B3 medis sesuai dengan peraturan yang berlaku. Menurut data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018, hanya 6,89% Puskesmas yang melakukan pengelolaan limbah medis sesuai dengan standar atau aturan yang berlaku, 47% Puskesmas yang telah terakreditasi, namun masih banyak yang belum melakukan pengelolaan limbah medis sesuai standar Kemenkes RI, 2019. Di Indonesia, penanganan limbah di Puskesmas menunjukan bahwa sebagian besar puskesmas melakukan Winda, K., et al. / Pengelolaan Limbah Bahan / HIGEIA 5 3 2021 428 penanganan limbah dengan cara kurang layak Wulansari, 2016. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu terkait tempat, variabel dan fokus penelitian. Pada penelitian ini dilakukan dengan fokus 1 tempat penelitian yaitu di Puskesmas X kabupaten Rokan Hulu, sehingga setiap variabel dilakukan penelitian secara lebih rinci dan dalam. Penelitian ini dilakukan untuk meneliti mengenai Jenis dan Jumlah Limbah, SDM, Sarana prasarana, Biaya, SOP, pemilahan, pengangkutan, penyimpanan sementara, pengelolaan akhir. Tujuan Penelitian ini adalah Menganalisis proses pengelolaan limbah B3 medis padat di Puskesmas X Kabupaten Rokan Hulu Tahun 2020. METODE Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif analitik. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas X Kabupaten Rokan Hulu dari bulan Juni-Juli tahun 2020. Variabel penelitian ini adalah Jenis dan Jumlah Limbah, SDM, Sarana prasarana, Biaya, SOP, pemilahan, pengangkutan, penyimpanan sementara, pengelolaan akhir. Informan dalam penelitian ini sebanyak 8 orang, terbagi 2 yaitu informan utama 1 orang pemegang program kesling, 2 orang cleaning service dan informan pendukung 1 orang perawat,1orang bidan poliklinik,1 orang bidan desa dan 1 orang penata laboratorium. Jumlah informan ditentukan berdasarkan metode snowball sampling dengan prinsip azas kesesuaian appropriateness dan kecukupan adequacy. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi partisipasif dan telaah dokumen. Proses wawancara dengan menggunakan bantuan lembar pedoman wawancara. Pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar wawancara bentuk semi terstruktur, semula peneliti menanyakan pertanyaan yang sudah terstruktur, kemudian melakukan probing dengan pertanyaan diperdalam satu persatu hingga menghasilkan informasi atau keterangan lebih lanjut. Pedoman wawancara berisi pertanyaan yang digunakan peneliti sebagai acuan dalam menggali informasi dari subjek penelitian. Proses observasi penelitian ini dilakukan secara langsung selama 7 hari, dengan melakukan pengukuran terhadap jenis dan jumlah limbah yang dihasilkan dan mengamati proses pengelolaan limbah mulai dari sumber limbah sampai proses pemusnahan limbah dengan bantuan checklist atau lembar observasi, untuk menentukan apa sesuai dengan peraturan yang berlaku atau tidak serta dibuktikan dengan hasil dokumentasi. Checklist yang digunakan mengacu pada Peraturan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 56 Tahun 2015, Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2014 dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1204 Tahun 2004. Telaah dokumen berasal dari penelusuran benda seperti 1 Profil Puskesmas 2 Struktur Organisasi 3 SOP 4 Dokumen lain yang mendukung terkait dengan penelitian. Sumber data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Sumber data primer dalam dalam penelitian ini diperoleh dari proses observasi dan proses wawancara, sedangkan sumber data skunder berasal dari telaah dokumen. Selain itu teknik pengambilan data untuk melengkapi dan menguatkan data yang diperoleh yaitu dengan melalui dokumentasi. Dokumentasi dalam penelitian ini didapatkan melalui pengambilan gambar atau foto. Analisis data yang digunakan adalah dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari hasil wawancara dengan 1 reduksi data, dalam penelitian ini dengan membandingkan hasil penelitian dengan standar yang digunakan, 2 penyajian data dalam penelitian ini adalah dalam bentuk tabel observasi dan matrix wawancara dengan informan yang berisi bagaimana pengelolaan limbah B3 medis padat di Puskesmas X Kabupaten Rokan Hulu, 3 penarikan kesimpulan, dalam penelitian ini berupa deskripsi dan gambaran dari kondisi dan tingkat kesesuaian analisis pengelolaan limbah B3 medis padat di Puskesmas X Kabupaten Rokan Hulu. Winda, K., et al. / Pengelolaan Limbah Bahan / HIGEIA 5 3 2021 429 HASIL DAN PEMBAHASAN Didapatkan Berdasarkan hasil wawancara dan observasi bahwa dari semua jenis limbah yang dihasilkan, jenis limbah yang paling banyak dihasilkan adalah limbah infeksius. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di Puskemas Alak Kota Kupang yang menyebutkan bahwa jenis limbah medis padat yang paling banyak dihasilkan yaitu limbah infeksius. Namun berbeda dengan jenis limbah medis padat yang dihasilkan Puskemas Pasir Panjang dan Puskesmas Bakunase Kota Kupang, didapatkan bahwa jenis limbah medis padat yang paling banyak adalah limbah benda tajam Waangsir, 2018. Menurut analisis peneliti, hal ini sebabkan oleh semua ruangan menghasilkan limbah infeksius, baik ruangan yang melakukan tindakan medis ataupun ruangan yang tidak melakukan tindakan medis serta di tunjang oleh karena penggunaan APD pada masa pandemi covid 19. Dari hasil penelitian terhadap timbulan limbah selama tujuh hari, didapatkan rata-rata jumlah limbah B3 medis padat sebanyak 1,56 kg/hari dengan jumlah rata-rata pasien perhari sebanyak 62 pasien, sehingga didapatkan hasil rata-rata timbulan limbah B3 medis padat perpasien yaitu = = 0,02 kg/pasien/hari Berdasarkan perhitungan di atas, didapatkan hasil bahwa timbulan limbah B3 medis padat di puskesmas X sebanyak 0,02 kg/pasien/hari. Hasil penelitian ini lebih banyak dibandingkan dengan jumlah timbulan limbah medis padat di puskesmas Mano 0,002 kg/pasien/hari dan puskesmas Waelengga 0,001kg/pasien/hari, namun lebih kecil dari ruang rawat inap dan ruang bersalin Puskesmas Borong yaitu sebesar 0,74 kg/pasien/hari dan 0,167 kg/pasien/hari Rahno, 2015. Selain itu, hasil penelitian ini lebih besar dari hasil penelitian jumlah tumbulan limbah medis padat yang dilakukan di Puskesmas Surabaya Timur setelah adanya program JKN yaitu 0,009 kg/pasien/hari Eldyawan, 2016. Menurut Diaz 2008 pemahaman mengenai jenis dan jumlah limbah sangat penting sebelum menentukan teknologi yang akan digunakan. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa kuantitas SDM sudah cukup, namun kualitas SDM belum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tenaga pengelolaan limbah B3 medis padat di Puskesmas X terdiri atas satu pemegang jawab program kesehatan lingkungan yang dalam pelaksanaanya di lapangan dibantu oleh cleaning service, petugas pelayanan perawat, dokter, bidan dan tenaga laboratorium. Penanggung jawab program kesehatan lingkungan Puskesmas X sebanyak satu orang, dengan pendidikan terakhir S1 kesehatan masyarakat peminatan promosi kesehatan promkes dan belum pernah mengikuti pelatihan tetang pengelolaan limbah B3 medis, sehingga belum memiliki surat izin kerja tenaga sanitarian SIKTS. Hal ini belum sesuai dengan Permenkes No. 13 pasal 12 tahun 2015, yang menjelaskan bahwa SDM sanitarian di Puskesmas paling sedikit satu orang tenaga kesehatan lingkungan yang memiliki izin sesuai undang-undang. Tingkat pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu cara untuk menentukan kualitas pengembangan sumber daya manusia Paruntu, 2015. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian di Puskesmas Kabupaten Bantul, didapatkan bahwa setiap Tabel. 1 Informan Penelitian a. Pemegang Program Kesehatan Lingkungan b. Cleaning Service IGD dan Rawat Inap c. Cleaning Service Rawat Jalan e. Penanggung Jawab Kesehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Rokan Hulu Winda, K., et al. / Pengelolaan Limbah Bahan / HIGEIA 5 3 2021 430 Tabel 2. Hasil Penelitian Jenis limbah B3 medis padat limbah infeksius, limbah benda tajam dan limbah patologis, jumlah paling banyak limbah infeksius U1,U2,U3,P1,P2,P3,P4 Jumlah limbahjawaban informan bervariasi U1,U2,U2,P2,P3,P4 Jenis limbah B3 medis padat limbah infeksius, limbah benda tajam dan limbah patologis, semua ruangan menghasilkan limbah infeksius Jumlah ra ta-rata limbah B3 medis padat yang dihasilkan sebanyak 1,5kg/hari Tidak terdapat pencatatan jenis dan jumlah limbah yang dihasilkan Jenis paling banyak limbah Infeksius. Jumlah rata-rata keseluruhan 1,56 kg/hari Jumlah SDM kurang U1,U2,U3,P1,P2,P3 SDM pemegang program kesling bukan merupakan lulusan dari kesehatan lingkungan U1,U2,U3 SDM belum pernah mendapat pelatihan U1,U2,U3,P1,P2,P3,P4,P5 Terdapat 1 pemegang pr ogram kesling dan 4 cleaning service 1 pemegang program kes ling bertanggung jawab di lingkungan puskesmas dan luar puskesmas SDM cleaning service mendapat double Job Pelaksanaan pengelolaan limbah, belum secara keseluruhan sesuai dengan SOP atau aturan yang berlaku SDM tidak menggunakan APD secara lengkap Peneliti tidak mendapat data dokumen SK, kar ena bersifat privasi Tidak terdapat SIKTS sebagai bukti izin sanitarian dari lu lusan kesling atau pernah mendapat pelatihan Tidak terdapat sertifikat bukti pelatihan Belum sesuai dengan Permenkes No. 13 pasal 12 tahun 2015, dan Permenkes RI No 7 pasal 9 Tahun 2019 Fasilitas Sarana Prasarana Belum lengkap U1,U2,U3,P1,P3,P4,P5 Sebagian tidak sesuai standar yang berlaku U1,U2,U3 Sebagian dalam kondisi rusak U1,U2,U3 Tidak semua ruangan terdapat wadah limbah lengkap dan dilapisi plastik. Tidak terdapat freezer Tidak ada alat angkut Bangunan TPS bergabung dengan bangunan insinerator Insinerator dalam keadaan rusak Tidak terdapat pencatatan atau laporan sarana dan prasarana yang tersedia Belum secara keseluruhan sesuai Permen LHK No. 56 pasal 7, 10, 12, 15 dan 22 Tahun 2015 Tidak ada/minimnya biaya khusus pengadaan, per awatan, perbaikan sarana prasarana dan pengelolaan limbah B3 medis padat. U1,U3,P3,P5 Peneliti tidak mendapaatkan izin melakukan telaah dokumen rincian biaya mengenai pengelolaan limbah dan pendapatan Puskesmas secara umum Biaya belum memadai untuk pengelolaan limbah B3 medis padat SOP tersedia U1,U2,U3,P1,P2,P3,P4 SOP belum pernah diperbaharui U1 Belum semua langkah pada SOP diterapkan oleh petugas U1,U2,U3,P1,P3,P4 SOP sudah pernah disosialisasikan secara lisan U1,U2,U3,P1,P2,P3,P4 SOP tidak ditempelkan disetiap ruangan dan TPS Pelaksanaan pengelolaan limbah B3 medis padat sebagian tidak sesuai SOP SOP tersedianamun, dibuat tahun 2017 dengan acuan referensi Depkes RI Dirjen Yenmed Direktorat, RSU dan Pendidikan Tahun 2005. SOP tidak menj elaskan secara rinci s etiap langkah dalam pengelolaan limbah B3 medis padat. Belum secara keseluruhan sesuai Permen LHK No. 56 pasal pasal 6 dan 8 Tahun 2015 Pemilahan sudah dilakukan, namun belum optimal, masih ada limbah non medis yang tercampur dengan limbah medis U1,U2,3,P2,P3,P4 Pemilahan limbah infeksius dan benda tajam sudah terlaksana, namun untuk limbah patalogis belum terlaksana U1,U2,U3,P1,P2,P3,P4 Kurangnya sarana prasarana wadah limbah dan kurangnya kesadaran petugas U1,U2,U3,P1,P2,P4 Pemilahan yang dilakukan yaitu pemilahan limbah non medis dan limbah medis, untuk limbah medis terdiri dari limbah infeksius dan limbah benda tajam. Pemilahan di ruang IGD/rawat inap dilakukan di ruang penghasil dan saat pengangkutan, sedangkan di ruang rawat jalan/poliklinik hanya dilakukan di ruang penghasil. Masih terdapat limbah non medis tercampur dengan limbah medis Wadah tidak dilengkapi dengan lambing/label Petugas tidak menggunakan APD lengkap Tidak terdapat pencatatan jenis limbah B3 medis padat yang dilakukan pemilahan Belum secara keseluruhan sesuai dengan Permen LHK No. 56 pasal 6 dan Lampiran I dan II Tahun 2015 Tahap pengangkutan belum sesuai SOP U1,U2,U3 Proses pengangkutan tidak menggunakan alat angkut U1,U2,U3,P1,P2,P3,P4,P5 Tidak memiliki j alur khusus U1,U2,U3,P1,P2,P3,P4 Tidak dilakukan setiap hari U3,P1,P2,P3,P4 Tidak menggunakan trolly atau wadah beroda Waktu pengangkutan IGD dan rawat ina p setiap pagi dan sore, namun untuk rawat jala/poliklinik diangkut saat sudah penuh. Petugas tidak menggunakan APD lengkap Pengangkutan tidak menggunakan jalur khusus Tidak terdapat pencatatan jumlah dan jenis limbah B3 medis padat yang diangkut dari setiap ruangan Belum secara keseluruhan sesuai dengan Permen LHK No. 56 pasal 12 dan lampiran III Tahun 2015 Penyimpanan dilakukan selama maksimal 1 minggu atau saat wadah penuh U1,U2,U3,P2 Tidak menggunakan cold storage U1,U2,U3,P2,P3,P4 Bangunan TPS bergabung dengan incinerator U1,U2,U3 Belum memiliki izin UKL, UPL dan izin TPS U1,U2,U3 Limbah disimpan dalam wadah tertutup Penyimpanan lebih dari 2 hari, n amun tidak menggunakan freezer Bangunan TPS terpisah dari bangunan utama dan bergabung dengan insinerator TPS terdapat ventilasi TPS tidak memiliki kunci Tidak terdapat pecatatan jumlah limbah yang disimpan Tidak terdapat surat izin UKL, UPL dan izin TPS Belum secara keseluruhan sesuai Permen. LHK No. 56 Pasal 7-10 dan lampiran III Tahun 2015 Pemusnahan dilakukan dengan menggunakan insinerator, namun insinerator dalam keaadan rusak, sehingga melakukan pembakaran secara manual U1,U2,U3,P1,P2,P3,P4 Pemusnahan dilakukan seminggu sekali U1,U2,U3,P2,P3 Insinerator tidak memiliki izin operasi U1,U2,U3 Pemusnahan dengan cara pembakaran secara manual di dalam insinerator Ketinggian cerobong 2 hari menggunakan pendingin dengan suhu sama atau lebih kecil dari 0ºc. Pada pengelolaan akhir menggunakan insinerator, menurut pasal 22 yaitu dilakukan oleh petugas yang sudah mendapatkan pelatihan, memasukan limbah yang sudah dipilah ke mesin insinerator, hidupkan mesin pastikan suhu minimal 800ºc, setelah selesai sisa pembakaran dilakukan penimbunan. Pelaksanaan pemilahan limbah B3 medis padat di Puskesmas X yang dilakukan oleh petugas, baik tenaga kesehatan di ruangan atau cleaning service belum secara keseluruhan sesuai dengan Permen LHK Pasal 6 Lampiran I dan II Tahun 2015. Pemilahan sudah terlaksana, namun belum optimal , untuk limbah infeksius dan benda tajam sudah terpisah, tetapi untuk limbah patologis belum terlaksana. Limbah medis dan non medis masih ada yang tercampur, karena kurangnya sarana prasarana dan kurangnya kesadaran petugas. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara barat, didapatkan hasil bahwa masih banyak limbah medis yang tercampur dengan limbah non medis Astuti, 2014. Penelitian lain yang sejalan, dilakukan di RSUD Dr. Soetomo, limbah medis dan non medis sudah dilakukan pemilahan namun terkadang masih ada yang tercampur Purwanti, 2018. Menurut Permen LHK No. 56 Pasal 6 Lampiran I tahun 2015, pemilahan limbah padat harus dipilah berdasarkan limbah non medis dan medis. Limbah B3 medis padat juga Winda, K., et al. / Pengelolaan Limbah Bahan / HIGEIA 5 3 2021 434 dilakukan pemilahan sesuai kategori, seperti limbah benda tajam, limbah infeksius dan limbah patologis. Menurut Muliarta 2016, pada proses pemilahan limbah medis dan non medis harus disediakan wadah sesuai kategori disetiap ruang perawatan. Pada penelitian ini terdapat perbedaan antara pemilahan di gedung rawat jalan/poliklinik dan laboratorium dengan gedung rawat inap dan IGD. Untuk poliklinik dan laboratorium pemilahan hanya dilakukan disetiap ruangan penghasil limbah, Sedangkan untuk ruangan IGD dan ruang rawat pemilahan dilakukan di ruangan penghasil limbah B3 medis padat dan dilakukan pemilahan kembali oleh cleaning service sebelum dilakukan pengangkutan. Hal ini belum secara keseluruhan sesuai dengan Permen LHK No. 56 Pasal 6 Lampiran I Tahun 2015 yang menyatakan bahwa tahap pemilahan harus dilakukan sedekat mungkin dengan sumber Limbah dan harus tetap dilakukan selama penyimpanan, pengumpulan, dan pengangkutan. Pada penelitian ini, pada tahap pemilahan didapatkan bahwa wadah limbah di Puskesmas X tidak dilengkapi dengan label/simbol/warna sesuai kategori untuk memudahkan petugas dalam melakukan pemilahan. Hal ini tidak sesuai dengan Permen LHK No. 56 Pasal 6 Lampiran I tahun 2015 yang menjelaskan bahwa pada wadah limbah pemilahan harus disertai kode warna dan simbol sesuai kategori atau kelompok limbah B3. Wadah sampah yang tersedia sudah cukup kokoh, kedap air, ringan, mudah dibersihkan, memiliki tutup, terbuat dari bahan plastik untuk wadah limbah infeksius dan terbuat dari bahan kardus untuk limbah benda tajam. Hasil ini sudah sesuai dengan Permen LHK No. 56 Pasal 6 Lampiran I tahun 2015. Namun hal lain yang belum sesuai yaitu wadah sampah tidak memiliki injakan kaki yang secara otomatis dapat membuka wadah sampah untuk meminimalkan kontak langsung petugas dengan limbah. Berdasarkan keterangan beberapa informan saat wawancara, kesalahan pada tahap pemilahan disebabkan oleh kurangnya kesadaran petugas di tempat penghasil limbah untuk melakukan pemilahan dan belum tersedianya fasilitas sarana prasarana yang lengkap serta belum adanya sosialisasi mengenai pengelolaan limbah B3 medis padat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian tahun 2019, menjelaskan bahwa adanya perilaku dan kurangnya kesadaran serta kepedulian petugas medis terutama perawat dalam penanganan limbah medis padat non tajam ataupun benda tajam. Menurut Satiti 2017 menjelaskan bahwa tingkat kepatuhan petugas pada pengelolaan limbah rumah sakit masih di bawah standar. Angka kepatuhan petugas pada pembuangan limbah infeksius masih di bawah 29%-56% . Tahap pemilahan dan pewadahan limbah menjadi inti dari pengelolaan limbah serta harus dilaksanakan di sumber penghasil limbah. Dalam hal ini, pengetahuan tenaga layanan kesehatan yang benar, sikap positif dan tindakan yang aman terhadap kegiatan pemilahan merupakan hal penting karena mereka memiliki risiko tinggi terhadap limbah medis yang dihasilkan dari tindakan pekerjaanya. Kurangnya pengetahuan, sikap dan praktik petugas layanan kesehatan memiliki potensi bahaya bagi petugas, pasien, lingkungan serta masyarakat sekitar Kemenkes RI, 2014. Tahap pengangkutan limbah B3 medis padat memiliki beberapa persyaratan mengenai alat angkut, wadah angkut, waktu angkut, cara angkut dan jalur khusus pengangkutan. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar pelaksanaan tahap pengangkutan limbah B3 medis padat di Puskesmas X belum sesuai dengan Permen LHK No. 56 Pasal 12 Lampiran III Tahun 2015. Hal ini dikarenakan belum tepatnya waktu angkut limbah di Poliklinik/rawat jalan, belum adanya alat angkut troli atau wadah beroda dan jalur khusus pengangkutan. Waktu angkut di IGD dan rawat inap sudah dilakukan sesuai peraturan yang berlaku yaitu dilakukan setiap hari oleh cleaning service, namun untuk di ruang poliklinik/rawat inap dan laboratorium tidak dilakukan setiap hari, pengangkutan dilakukan saat wadah limbah Winda, K., et al. / Pengelolaan Limbah Bahan / HIGEIA 5 3 2021 435 sudah dianggap penuh serta dilakukan oleh petugas di ruangan atau cleaning service. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Amrullah tahun 2019 di Puskesmas Babulu, dijelaskan bahwa proses pengangkutan tidak dilakukan setiap hari dari setiap ruangan. Selain itu, tidak adanya alat angkut troli atau wadah beroda, mengakibatkan petugas atau cleaning service melakukan pengangkutan dengan cara dijinjing menggunakan kantong plastik atau wadah limbah langsung ke TPS. Kedua hal ini tidak sesuai dengan Permen LHK No. 56 Pasal 12 Lampiran III Tahun 2015 yang menjelaskan bahwa limbah B3 harus diangkut atau dikumpulkan ke tempat pembuangan sementara setempat minimum dilakukan setiap hari atau sesuai kebutuhan dan pengangkutan limbah pada lokasi fasilitas pelayanan kesehatan dapat menggunakan troli atau wadah beroda. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil yang didapatkan dari penelitian yang dilakukan pada tahap pengangkutan limbah medis padat di Puskesmas Babulu menggunakan kantong plastik. Tidak terdapat alat angkut khusus yang digunakan petugas dalam mengangkut limbah medis dari setiap ruangan ke tempat penyimpanan sementara. Kantong plastik yang berisi limbah medis dilakukan pengikatan, kemudian langsung di bawa ke TPS dan dimasukan ke dalam drum yang telah disiapkan untuk tempat penyimpanan limbah medis Amrullah, 2019. Penelitian lain juga dilakukan oleh Mirawati, 2019, didapatkan hasil bahwa pada proses pengangkutan limbah medis padat di Puskesmas Pangi Kabupaten Parigi Moutong belum menyediakan alat angkut limbah seperti countainer atau troli pengangkut limbah. Tahap pengangkutan tidak memiliki jalur khusus, jalur yang digunakan yaitu jalur terdekat dari sumber penghasil ke TPS dan merupakan jalur umum yang juga dilewati pengunjung atau pasien. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Pertiwi, 2017 dijelaskan bahwa di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang belum memiliki rute khusus pengangkutan, sehingga pelaksanaanya sama dengan jalur area yang dilalui banyak pengunjung. Menurut Permen LHK No. 56 Pasal 12 Lampiran III Tahun 2015, dijelaskan bahwa pengakutan harus melalui jalur khusus, untuk menghindari area yang dilalui orang banyak. Menurut analisis peneliti, kendala utama yang perlu diperbaiki dalam proses pengangkutan limbah B3 medis padat di puskesmas X yaitu waktu pengkutan, sehingga perlu dilakukan sosialiasi mengenai waktu pengangkutan sesuai dengan yang tertera pada SOP setiap pergantian shift terutama untuk petugas bidan/perawat/dokter dan cleaning service poliklinik/ruang rawat jalan serta ruang laboratorium. Karena menurut analisa peneliti dari hasil wawancara, petugas ruangan dan cleaning service di gedung rawat jalan merasa bahwa tindakan mereka mengangkut limbah B3 medis padat tidak setiap hari atau menunggu saat penuh sudah tepat. Mereka berfikir bahwa hal ini dapat menghemat wadah yang tersedia. Selain itu, kendala lain seperti tidak adanya alat angkut dan jalur khusus perlu untuk dipenuhi dalam upaya meminimalkan kontak limbah B3 medis padat terhadap petugas dan pengunjung/pasien. Tahap penyimpanan sementara limbah B3 medis padat memiliki beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk pendapatkan surat izin tempat pembuangan sementara dan layak digunakan. Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa tahap penyimpanan sementara limbah B3 medis padat di Puskesmas X, sebagian belum sesuai dengan Permen LHK No. 56 Pasal 7-10 Lampiran III Tahun 2015. Dikarenakan Penyimpanan dilakukan lebih dari 2 hari, namun tidak menggunakan freezer, bangunan TPS terpisah dengan bangunan utama, namun masih dalam satu bangunan dengan insinerator, lokasi bangunan TPS hanya berjarak 6 meter dari gedung utama dan 2 meter dari rumah dinas serta hanya berbatas pagar dengan pemukiman. Puskesmas belum memiliki izin UPL, UKL dan izin TPS. TPS memiliki lantai yang sudah disemen, cukup mudah diakses, terlindung dari matahari/hujan, bebas banjir dan terdapat ventilasi cukup. Namun belum dilengkapi sumber air/kran terdekat, Winda, K., et al. / Pengelolaan Limbah Bahan / HIGEIA 5 3 2021 436 tidak dapat di kunci sehingga siapapun dapat masuk serta tidak tersedia alat pembersih dan pakaian pelindung. Sejalan dengan penelitian di Rumah Sakit Prof. Dr. Johannes, didapatkan TPS tidak dalam keadaan terkunci, sehingga pihak yang tidak berkepentingan juga dapat masuk Mauguru, 2016. Bangunan TPS Puskesmas X berada di belakang puskesmas dan bersampingan dengan rumah dinas tenaga kesehatan, serta berada dalam satu bangunan dengan Insinerator, terdapat 4 wadah yang terbagi 2 yaitu untuk limbah benda tajam dan 2 untuk limbah infeksius. Persyaratan fasilitas penyimpanan limbah yang termasuk B3 menurut Permen LHK No. 56 Pasal 7 Lampiran III Tahun 2015, antara lain memiliki lantai kedap, terdapat sumber air atau kran air, mudah diakses, dapat dikunci, terlindungi dari sinar matahari, hujan, angin kencang, banjir, terhindar dari hewan, serangga, dan burung, terdapat ventilasi dan pencahayaan yang baik dan memadai, berjarak jauh dari tempat penyimpanan atau penyiapan makanan, tersedia alat pembersihan, pakaian pelindung, dan wadah atau kantong plastik untuk kemasan limbah harus tersedia sedekat mungkin dengan lokasi penyimpanan sementara. Tempat penyimpanan sementara limbah B3 medis padat Puskemas X sudah terpisah dengan gedung bangunan lain, sesuai dengan Permen LHK No. 56 Tahun 2015, namun miliki jarak yang berdekatan. Jarak gedung TPS dengan gedung utama 6 meter dan jarak dengan rumah dinas petugas kesehatan 2 meter. Hal ini tidak sesuai dengan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tahun 1995, dijelaskan bahwa bangunan TPS terpisah dari bangunan lain minimal 20 meter dan minimal jarak dengan fasilitas umum minaml 50 meter. Hasil ini sesuai dengan penelitian Mayoneta 2016 didapatkan bahwa jarak TPS puskesmas di Kabupaten Sidoharjo dengan fasilitas umum kurang dari 50 meter. Pada pelaksanaanya proses penyimpanan sementara limbah B3 medis padat di Puskesmas X dilakukan lebih dari 2 hari namun tidak disimpan dalam pendingin karena tidak tersedia pendingin/freezer. hal ini tidak sesuai dengan peraturan Permen LHK No. 56 Pasal 10 Tahun 2015 yang menjelaskan bahwa limbah infeksius, benda tajam, dan patologis tidak boleh disimpan lebih dari 2 dua hari untuk menghindari pertumbuhan bakteri dan bau. Namun apabila tidak memungkinkan dan harus disimpan lebih dari 2 dua hari, limbah harus dilakukan desinfeksi kimiawi atau disimpan dalam refrigerator atau pendingin pada suhu 0 ºC nol derajat celsius atau lebih rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian pada proses penyimpanan sementara di salah satu Puskesmas di Kabupaten Pati berlangsung selama lebih dari 2 dua hari, bahkan sampai 6 bulan untuk menungu volume limbah medis padat sudah banyak, untuk keperluan efisiensi bahan bakar. Limbah medis padat disimpan di ruangan dengan ukuran 3 m x 3 m, dimana dalam ruangan tersebut juga terdapat insinerator Pratiwi, 2013. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian di Puskesmas Bantul, didapatkan bahwa proses penyimpanan lebih dari 2 hari 1 bulan namun tidak menggunakan pendingin/refrigator suhu 0°c atau lebih, karena tidak memiliki alat tersebut Manila, 2017. Berdasarkan hasil penelitian, pengelolaan akhir limbah B3 medis padat di Puskesmas X belum sesuai dengan Permen LHK No. 56 Pasal 22 Lampiran V Tahun 2015. Dikarenakan Insinerator yang tersedia dalam kondisi rusak dan tidak memiliki izin operasi sehingga pembakaran dilakukan secara manual di dalam insinerator dan dilakukan maksimal 1 minggu. Pemusnahan limbah B3 medis padat dianjurkan dengan dua metodetermal dan nontermal. Salah satu pemusnahan secara termal yaitu dengan menggunakan Insinerator. Puskesmas X sudah memiliki insinerator, namun insinerator yang dimiliki Puskesmas X belum memiliki izin operasi sejak awal pengadaan. Hal ini disebabkan ketinggian cerobong Insinerator belum sesuai dengan aturan yang berlaku. selain itu, akibat insinerator rusak dan pembakaran dilakukan secara manual, maka proses pembakaran tidak bisa mengatur suhu sesuai ketentuan yang berlaku. Menurut permen LHK No 56 pasal 22 Winda, K., et al. / Pengelolaan Limbah Bahan / HIGEIA 5 3 2021 437 Tahun 2015, tinggi insinerator minimal 14 meter atau 1,5 kali bangunan tertinggi dan suhu pembakaran limbah B3 minimal 800 ºC. Pembakaran secara manual dilakukan oleh cleaning service setiap seminggu sekali atau jika TPS sudah penuh. Pembakaran manual tetap dilakukan dengan alasan belum ada kerja sama dengan pikak ke 3 tiga karena tidak ada biaya dan limbah B3 medis padat yang dihasilkan tidak terlalu banyak. Selain itu, pengelolaan akhir dengan metode penguburan tidak dilakukan karena luas Puskesmas X terlalu sempit, sehingga tidak ada lokasi yang bisa dijadikan tempat penguburan limbah B3 medis padat. Lokasi penguburan seharusnya memiliki jarak minimal 30 meter dari jalan umum atau jalan tol, daerah pemukiman, daerah padagangan, hotel, restoran, fasilitas keagamaan, fasilitas pendidikan dan mata air atau sumur penduduk Adhani, 2018. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Leonita 2014 mengenai pengelolaan limbah medis padat puskesmas se-kota Pekanbaru, didapatkan hasil bahwa 4 empat Puskesmas di Pekanbaru yang melakukan pemusnahan sendiri dengan menggunakan insinerator. Namun akibat insinerator yang digunakan dalam kondisi rusak, sehingga masih terdapat limbah yang tidak hancur dan tercecer di sekitar pembakaran. Selain itu, penelitian lain dilakukan di Puskesmas Perawatan Kabupaten Merangin, didapatkan hasil bahwa 100% Puskesmas melakukan penanganan akhir limbah medis dengan cara pembakaran manual, karena sebagian insinerator dalam keadaan rusak Romaningsih, 2017. Sedangkan penelitian lain yang dilakukan di RSUD Mamuju, didapatakan hasil bahwa terdapat 2 insinerator, 1 insinerator dalam keadaan rusak dan 1 insinerator lagi belum memiliki surat izin operasi, sehingga penanganan akhir semua limbah medis padat, kecuali limbah patologis dan limbah farmasi dibuang di tempat pembuangan akhir beserta limbah domestik Amelia, 2020. Menurut Jang, 2006; Gautam, 2010 limbah yang dihasilkan dari kegiatan medis fasilitas kesehatan seperti puskesmas, klinik dan rumah sakit harus dilakukan pemusnahan dengan suhu di atas 800 ºC, karena limbah tersebut masuk ke dalam kategori biohazard dapat membahayakan lingkungan. Pengelolaan limbah medis di Puskesmas menggunakan metode insenerasi dapat menimbulkan masalah pencemaran udara dan kebisingan. Pengelolaan limbah padat perlu dilakukan dengan baik dan benar. Namun pemusnahan dengan insinerator yang beroperasi dibawah suhu C memiliki potensi menghasilkan emisi dioksin, zat kimia yang bersifat, akumulasi dan beracun serta berdampak besar pada lingkungan dan kesehatan Habibi, 2015. PENUTUP Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa jenis limbah B3 medis padat yang paling banyak dihasilkan yaitu limbah infeksius dan jumlah rata-rata limbah B3 medis padat yang dihasilkan 1,56kg/hari. Kuantitas SDM sudah cukup dan kualitas SDM belum sesuai Permenkes No. 13 Tahun 2015. Biaya pengadaan, perawatan dan perbaikan sarana prasarana serta biaya pengelolaan limbah B3 medis padat belum mencukupi. Fasilitas sarana prasarana, SOP, proses pemilahan, pengakutan internal, penyimpanan sementara dan pengelolaan akhir sudah tersedia dan terlaksana, namun belum optimal dan belum sesuai Permen LHK No. 56 Tahun 2015. Disarankan adanya kerjasama Puskesmas dengan dinas kesehatan setempat untuk dilakukan perbaikan dari faktor SDM, fasilitas sarana prasarana, biaya dan SOP. Sehingga dapat menunjang perbaikan setiap proses pengelolaan limbah B3 medis padat, mulai dari pemilahan, pengangkutan, penyimpanan sementara dan pengelolaan akhir. Keterbatasan penelitian ini hanya dilakukan pada satu puskesmas, sehingga sehingga belum bisa menggambarkan pengelolaan limbah B3 medis padat pada satu Kabupaten. Saran untuk peneliti selanjutnya, agar dilakukan penelitian pada beberapa puskesmas sehingga dapat Winda, K., et al. / Pengelolaan Limbah Bahan / HIGEIA 5 3 2021 438 menggambarkan keadaan pengelolaan limbah B3 medis padat untuk satu kabupaten. DAFTAR PUSTAKA Adhani, R. 2018. Pengelolaan Limbah Medis Pelayanan Kesehatan. Banjarmasin Lambung Mangkurat University Press. Adisasmito, W. 2009. Sistem Manajemen Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta PT. Raja Grafindo Persada. Amelia, A. R., Ismayanti, A., & Rusydi, A. R. 2020. Pengelolaan Limbah Medis Padat Di Rumah Sakit Umum Daerah Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Window of Health Jurnal Kesehatan, 31 73–85. Amrullah. 2019. Analisis Pengelolaan Limbah Medis Puskesmas di Kecamatan Babulu Kabupaten Penajam Paser Utara Berdasarkan Permenkes Nomor 27 Tahun 2017. Husada Mahakam Jurnal Kesehatan, 48 453–464. Astuti, A., & Purnama, S. G. 2014. Kajian Pengelolaan Limbah Di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat NTB. Community Health, II1 12–20. Babanyara Y. Y., Ibrahim D. B., Garba T., Bogoro A. G., Abubakar, M. Y. 2013. Poor Medical Waste Management MWM Practices and Its Risks to Human Health and the Environment A Literature Review. International Journal of Environmental, Chemical, Ecological, Geological and Geophysical Engineering, 711 538–545. Bassey, B. E., Benka-Coker, M. O., & Aluyi, H. S. A. 2006. Characterization and management of solid medical wastes in the Federal Capital Territory, Abuja Nigeria. African Health Sciences, 61 59–63 Diaz, Eggerth, & Savage, 2008. Management of Solid Wastes in Developing Publisher, 287 1219–1226. Eldyawan, M. G., Razif, M., Karnaninggroem, N., Arief, J., & Hakim, R. 2016. Perencanaan Pengelolaan Limbah Padat Medis di Puskesmas Surabaya Timur Menggunakan Insinerator Sebagai Upaya Pengelolaan Lingkungan. Jurnal Teknik Pomits, 11 1–6. Fairyo, L. S., & Wahyuningsih, A. S. 2018. Kepatuhan Pemakaian Alat Pelindung Diri pada Pekerja Proyek. Higeia Journal Of Public Health Research And Development, 21 80–90. Gautam, V., Thapar, R., & Sharma, M. 2010. Biomedical waste management Incineration vs. environmental safety. Indian Journal of Medical Microbiology, 283 191–192. Habibi, E., Taheri, M. R., & Hasanzadeh, A. 2015. Relationship between mental workload and musculoskeletal disorders among Alzahra Hospital nurses. Iranian journal of nursing and midwifery research, 201 1–6. Hartati, 2014. Buku Pintar Membuat SOP. Yogyakarta Flashbooks. Istikomah, T., & Raharjo, 2018. Kebutuhan Tenaga Klinik Sanitasi Dengan Metode Workload Indicators of Staffing Needs. Higeia Journal of Public Health Research and Development, 21 1–11. Jang, 2006. Medical waste management in Korea. Journal of Environmental Management, 802, 107–115. Kemenkes RI. 2014. Data Dasar Puskesmas Provinsi Jawa Tengah Keadaan Desember 2013. Jakarta Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Kemenkes RI. 2019. Pengelolaan Limbah Medis Fasyankes Menjadi Perhatian Khusus. Jakarta Direktorat Jenderal Kesehatan Masyrakat Kepmenkes RI No. 1204 Tahun Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. 19 Oktober 2004. Lando, A. T., Aly, S. H., Zubair, A., & Rahim, I. R. 2017. Evaluation Study of Medical Solid Waste Management in Syekh Yusuf Gowa Hospital. International Journal of Engineering and Science Application IJEScA, 42 137-146. Leonita, E. & Yulianto, B. 2014. Pengelolaan Limbah Medis Padat Puskesmas Se-Kota Kesehatan Komunitas, 24 128–162. Kemen LHK. 2018. Peta Jalan Roadmap Pengelolaan Limbah B3 dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan Fasyankes. Jakarta Direktorat Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Maluken, A., Haimanot, G., & Dar, B. 2013. Healthcare waste management practices among healthcare workers in healthcare facilities of Gondar Town, Northwest Ethiopia. Heal Sci J, 73 315–326. Manila, R. L., & Sarto, S. 2017. Evaluasi sistem pengelolaan limbah medis Puskesmas di wilayah Kabupaten Bantul. Berita Kedokteran Masyarakat, 3312 587–594. Mauguru, Azizah, R., & Sulistyorini, L. 2016. Evaluation of Solid Medical Waste Winda, K., et al. / Pengelolaan Limbah Bahan / HIGEIA 5 3 2021 439 Management at Prof. Dr. WZ Johannes Kupang Hospital. International Journal of Scientific Research and Management IJSRM, 47 4461– 4475. Mayonetta, G., & Warmadewanthi, I. 2016. Evaluasi Pengelolaan Limbah Padat B3 Fasilitas Puskesmas di Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Teknik ITS, 52 2337–3539. Muliarta, I. N. 2016. Medical Waste and Its Management at Wangaya Hospital in Denpasar. International Research Journal of Management, IT & Social Sciences, 35 94–102. Mirawati, Budiman., & Tasya, Z. 2019. Analisis sistim pengelolaan limbah medis padat di puskesmas pangi kabupaten parigi moutong. Jurnal Kolaboratif Sains, 11 1–8. Ngambut, K. 2017. Pengelolaan Limbah Medis Puskesmas Di Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Jurnal Info Kesehatan, 152 417–427 Nopriadi, Leonita, E., Herman, P., & Sari, 2020. Analisis Pengelolaan Limbah Medis Padat Untuk Mewujudkan Konsep Green Hospital di RSUP DR. M. Djamil Padang. Dinamika Lingkungan Indonesia, 71 43–52. Paruntu, B. R. L., Rattu, A. J. M., & Tilaar, C. R. 2015. Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya Manusia di Puskesmas Kabupaten Minahasa H. JIKMU, 51 43–53. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indoneisa. Nomor 7 Tahun 2019. Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. 19 Febuari 2019. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 13 Tahun 2015. Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Lingkungan Di Puskemas. Permen LHK No. 56 Tahun 2015. Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 03 November 2015 Pertiwi, V., Joko, T. & Dangiran, 2017. Evaluasi Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun B3 Di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat e-Journal, 53 420–430. Pratiwi, D., & Maharani, C. 2013. Pengelolaan Limbah Medis Padat Pada Puskesmas Kabupaten Pati. KESMAS - Jurnal Kesehatan Masyarakat, 91 74–84. Purwanti, A. A. 2018. Pengelolaan Limbah Padat Bahan Berbahaya dan Beracun B3 Rumah Sakit di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 103 291–29. Rahno, D., Roebijoso, J., & Leksono, A. S. 2015. Pengelolaan Limbah Medis Padat di Puskesmas Borong Kabupaten Manggarai Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari, 61 22–32. Romaningsih & Asparian. 2017. Analisis sistem pengelolaan sampah medis puskesmas perawatan di Kabupaten Merangin. Jurnal Kesmas Jambi JKMJ, 12 35–45. Ronald, T., Jootje, M. L., & Umboh, W. B. S. J. 2018. Pengelolaan Limbah Medis Padat Bahan Bagian Barat, Propinsi Maluku Pada Tahun 2018. Jurnal KESMAS, 75 Sari, P. F. O., Sulistiyani & Kusumawati, A. 2018. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Praktik Pengelolaan Limbah Medis Padat Puskesmas Cawas I Kabupaten Klaten. Jurnal Kesehatan Masyarakat e-Journal, 64 505–514. Satiti, A., Wigati, P., & Fatmasari, E. 2017. Analisis Penerapan Standard Precautions Dalam Pencegahan Dan Pengendalian Hais Healthcare Associated Infections Di Rsud Raa Soewondo Pati. Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, 51 40–49. Singh, A., Singh, A., & Maurya, N. K. 2019. Health Care Waste Management. International Journal Of Scientific Research and Review, 82 410–416. Silva, Hoppe, Ravanello, & Mello, N. 2004. Medical Wastes Management in the south of Brazil. Waste Management, 6 25 600–605 Utami, 2020. Terapan Standar Operasional Prosedur Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Higeia Journal of Public Health Research and Development, 41 77–88. Waangsir, F. W., & Lamawurana, W. 2018. Studi Pengelolaan Limbah Medis Padat Pada Puskesmas Rawat Inap Di Kota Kupang Tahun 2018. Prosiding Semnas I Kesehatan Lingkungan & Penyakit Tropis,158–166. Wulansari, S., & Rukmini. 2016. Ketersediaan dan Kelayakan Penanganan Limbah Puskesmas Berdasarkan Topografi dan Geografi di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 191 33-39 Yulis, D., Pinontoan O., & Boky, H. 2018. Sistem Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun B3 di Puskesmas Tobelo Kota Kabupaten Halmahera Utara. Jurnal Kesmas, 75. Zuhriyani. 2019. Analisis Sistem Pengelolaan Limbah Medis Padat Berkelanjutan di Rumah Winda, K., et al. / Pengelolaan Limbah Bahan / HIGEIA 5 3 2021 440 Sakit Umum Raden Mattaher Jambi. Jurnal Pembangunan Berkelanjutan, 1.1 40–52. ... Biaya pengadaan, perawatan dan perbaikan sarana prasarana serta biaya pengelolaan limbah B3 medis padat belum mencukupi. Fasilitas sarana prasarana, SOP, proses pemilahan, pengakutan internal, penyimpanan sementara dan pengelolaan akhir sudah tersedia dan terlaksana, namun belum optimal dan belum sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 56 Tahun 2015Kristanti et al., 2021.Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut Untuk menganalisa Implementasi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Wilayah Pada Puskesmas Padang Bulan Medan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. ...Romi Indra Cahaya DebatarajaBudi HartonoMaksum Syahri LubisThe objectives of this study are to analyse the implementation and to identify the factors that influence the implementation of the Minister of Health regulation number 18 of 2020 regarding the management of medical waste in area-based health care facilities at the Public Health Center, Padang Bulan Medan. This study applies Edward III's Theory. This study applied qualitative descriptive approach. The informants in this study were the head of the community health center, management of medical waste, and four employees of community health center. The data collection techniques in this study were observation, interviews, and documentation. The data analysis technique in this research used the theory of Miles, Huberman, and Saldana 2014. The results showed that the Public Health Center in Padang Bulan implemented the Ministry of Health Regulation No. 18 of 2020 as seen from the good communication between the head and the employees of the public health center, the resources owned by the public health center in the form of safety boxes, plastic-coated trash cans, and environmental sanitation workers, waste management in an efficient manner in internal and external, Standard operating procedures owned by the community health centers, and recording and reporting the amount of waste every month. The factors that influence the implementation were the commitment of the head of the community health center and Leonita Beny YuliantoJumlah limbah medis yang bersumber dari fasilitas kesehatan diperkirakan semakin lama semakin meningkat. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008, jumlah puskesmas mencapai unit. Pengelolaan limbah medis yang berasal dari rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan maupun laboratorium medis di Indonesia masih dibawah standar profesional. Di kota Pekanbaru tidak memiliki data yang akurat tentang pengelolaan limbah medis di puskesmas, maka dari itu dianggap perlu dilakukan penelitian terkait untuk melihat sejauh mana pengelolaan limbah medis padat puskesmas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengelolaan limbah medis padat di Puskesmas se-Kota Pekanbaru. Jenis penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, penelitian ini dilakukan di 20 puskesmas yang ada di Pekanbaru. Jumlah Informan dalam penelitian ini adalah 21 orang yang terdiri dari 20 pemegang program kesehatan lingkungan masing-masing puskesmas dan 1 orang pemegang program sanitasi lingkungan di Dinas Kesehatan Kota. Instrumen penelitian menggunakan lembar observasi dan wawancara mendalam. Hasil penelitian diketahui bahwa puskesmas se kota Pekanbaru telah melakukan pengelolaan sampah padat mulai dari pemilahan, pengumpulan, penampungan, pengangkutan, namun pada tahap pemusnahan masih kurang maksimal. Kendala yang dihadapi adalah dana operasional dan tenaga maintenance yang tidak ada serta mesin insinerator yang tidak berfungsi dengan baik. Muliarta i NengahMedical waste has three forms; solid, liquid and gas which derives from hospital activities which contains microorganism, chemical material and radioactive substances. Based on description above, this research was necessary to be conducted to handle the negative impact of medical waste to the environment. The research objectives were 1 in order to know the medical waste management system of Wangaya Hospital in Denpasar, and 2 studying more about medical waste quality of Wangaya Hospital in Denpasar. The research was a case study in using method that was designed by combining the observation data with the laboratory data analyses. The research location was in Denpasar of Wangaya Hospital B type regarding on the high occupancy rate of the patient was compared to other hospital B type in Bali. The research results was to show that 1 the medical waste management of Wangaya Hospital in Denpasar was suitable yet to meet the procedure of medical waste from Decree of Minister of health in 2004, regarding Health Condition of Environmental Hospital. The laboratory results show that the medical waste quality in Denpasar Wangaya Hospital was above the maximum of standard limit based on Decree of Minister No. 58/MENLH/12/2004. The ashes of incinerated medical waste contained a Hg heavy metal until 2,39 ppm. Based on the research results it was concluded that the management system of medical waste in Denpasar Wangaya Hospital was suitable yet with the procedure, and the medical waste quality of outputs that was released into the environment still exceeding the maximum standard limit. Therefore, it is recommended that Denpasar Wangaya Hospital should undertake the evaluation in management system of the medical waste and its treatment plan to reduce the effluent in its output products in order to comply with the standard care is vital for our life, health and well-being. But the waste generated from medical activities can be hazardous, toxic and even lethal because of their high potential for diseases transmission. The hazardous and toxic parts of waste from healthcare establishments comprising infectious, medical and radioactive material as well as sharps constitute a grave risks to mankind and the environment, if these are not properly treated / disposed or are allowed to be mixed with other municipal waste. In Nigeria, practical information on this aspect is inadequate and research on the public health implications of poor management of medical wastes is few and limited in scope. Findings drawn from Literature particularly in the third world countries highlights financial problems, lack of awareness of risks involved in MWM, lack of appropriate legislation and lack of specialized MWM staff. The paper recommends how MWM practices can be improved in medical facilities. Ehsanollah HabibiMohamad Reza TaheriAkbar HasanzadehMusculoskeletal disorders MSDs are a serious problem among the nursing staff. Mental workload is the major cause of MSDs among nursing staff. The aim of this study was to investigate the mental workload dimensions and their association with MSDs among nurses of Alzahra Hospital, affiliated to Isfahan University of Medical Sciences. This descriptive cross-sectional study was conducted on 247 randomly selected nurses who worked in the Alzahra Hospital in Isfahan, Iran in the summer of 2013. The Persian version of National Aeronautics and Space Administration Task Load Index NASA-TLX measuring mental load specialized questionnaire and Cornell Musculoskeletal Discomfort Questionnaire CMDQ was used for data collection. Data were collected and analyzed by Pearson correlation coefficient and Spearman correlation coefficient tests in SPSS 20. Pearson and Spearman correlation tests showed a significant association between the nurses' MSDs and the dimensions of workload frustration, total workload, temporal demand, effort, and physical demand r = and respectively. However, there was no significant association between the nurses' MSDs and the dimensions of workload performance and mental demand P > The nurses' frustration had a direct correlation with MSDs. This shows that stress is an inseparable component in hospital workplace. Thus, reduction of stress in nursing workplace should be one of the main priorities of hospital Aam AmrullahThe amount of medical waste originating from health facilities are expected progressively increasing. Waste generated from medical efforts such as health centers, polyclinics and hospitals are the type of waste which are included in the category of biohazard waste is very dangerous type of environment, where many exiles viruses, bacteria and other harmful substances. This study was conducted to analyze the management of solid medical waste in the public health centers in Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara Provinsi Kalimantan Timur. This research is a qualitative descriptive. The object of research is the implementation of medical waste management in health centers and community health centers target sanitarians and janitor. The research variables include the characteristics of medical waste, stage management, medical waste management officers, facilities, SOP and the perceived health impact of medical waste management officers. The results showed solid medical waste management of health centers is not in accordance with the applicable provisions of the color of plastic bags are used not appropriate, storage locations are not eligible, and there are medical waste that is not destroyed by incineration. Medical waste management facilities not adequate ie no conveyance and no incinerators. Medical waste management is done not in accordance with the SOP and SOP is not in accordance with regulations. Medical waste management officers not using PPE. It is advisable to do a lug medical waste with a plastic bag, label and symbol in accordance with existing regulations. Medical waste storage location is advisable to be in a secure area and symbols and labels. Waste disposal is done in the health center in order to keep attention to the existing guidelines to minimize the risk. The need for training on medical waste management and use of Lala Manila Sarto SartoEvaluation of community health center's medical waste management system in Bantul RegencyPurposeThis study aimed to evaluate the Primary health centers medical waste management This research was a qualitative study using a case study design in five Puskesmas of Bantul Dis­ manage­ment of medical waste in Bantul Regency is a new model using private party as a user health cooperative to hire services to the private transporter CV. Jogya Prima Per­kasa to carry out the transportation and destruction of medical waste generated by health facilities of Puskesmas, Pustu, Polindes and private health facilities. Con­sideration of Health Cooperation is a private institution belonging to Dinas Kesehatan and has a legal entity con­sidered more flexible to bail out the initially issued funds to pay the financing of transport and extermination services to the Primary health care medical waste man­agement has followed the regulations. Health center has conducted medical waste management starting from the sorting, collection, pack­aging, storage, and transport. There should be improvements in some aspects, especially the creation of TPS for Puskesmas that do not have them yet, while Puskesmas who already have TPS need to make im­provements ac­cording to the conditions Mesach MauguruBackground Analyze resources in the management of solid medical waste include Human Resources quality and quantity, costs, facilities, Standard Operating Procedures SOP, operational technique, output of solid medical waste management at hospital. Analyze phases of solid medical waste management process includes a source of waste, minimization, segregation, collection, transportation, temporary storage, processing and final disposal. Methods This is a evaluation research which describe medical solid waste management system. Result Analyze the results of medical solid waste management include the conditions in temporary storage and the final disposal. Minimization stages acquire good category with score 86,11%, segregation stages acquire sufficient category with score 67,33%, collecting stages acquire good category with score 88,89%, transportation stages acquire good category with score 84,72%, temporary storage stages acquire sufficient category with score 75,40%, processing stages acquire sufficient category with score 58,33% and final disposal stages acquire sufficient category with score 70,63%. Conclusion For human resources in the management of solid medical waste in hospitals Prof. Dr. Z. W. Johannes Kupang, sanitary installations officers have not been trained in the management of solid medical waste hospitals, infrastructure is still lacking, socialization SOP related waste management is still lacking. TPS condition in a permanent housing is open, so no unauthorized parties can enter and not free from vermin. No incidence of occupational accidents resulting solid medical waste includes physical injuryPublic concerns about incinerator emissions, as well as the creation of federal regulations for medical waste incinerators, are causing many health care facilities to rethink their choices in medical waste treatment. As stated by Health Care Without Harm, non-incineration treatment technologies are a growing and developing field. Most medical waste is incinerated, a practice that is short-lived because of environmental considerations. The burning of solid and regulated medical waste generated by health care creates many problems. Medical waste incinerators emit toxic air pollutants and toxic ash residues that are the major source of dioxins in the environment. International Agency for Research on Cancer, an arm of WHO, acknowledged dioxins cancer causing potential and classified it as human carcinogen. Development of waste management policies, careful waste segregation and training programs, as well as attention to materials purchased, are essential in minimizing the environmental and health impacts of any technology.
Tindakantidak bijaksana dalam penanganan limbah B3 adalah . answer choices . Membuangnya ke laut. Proses pengolahan limbah B3 secara biologi yang menggunakan bakteri dan mikroorganis me untuk menguraikan limbah B3 adalah . answer choices . Incenerasi. Fitoremidiasi. Solidifikasi. Stabilisasi. Bioremidiasi Incenerasi
Pengelolaan limbah B3 harus dilakukan dengan tepat agar tidak mencemari lingkungan. Menurut Jurnal Teknologi Lingkungan 21, limbah B3 adalah sampah yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun karena sifat, konsentrasi, atau ini bisa mempengaruhi lingkungan secara langsung maupun tidak langsung. Sudah banyak regulasi yang mengatur tentang sampah anorganik ini, namun masih banyak orang yang belum mengetahui cara pengelolaan limbah Limbah B3Sebelum mengetahui beberapa metode pengelolaan limbah B3, alangkah baiknya jika kita juga mengetahui terlebih dahulu sifat atau karakteristik dari limbah ini. Menurut penjelasan di berikut beberapa karakteristik limbah meledakPengoksidasiMudah menyalaBeracunBerbahayaKorosifBersifat iritasiLimbah berbahaya bagi lingkunganBersifat karsinogenik, teratogenik, dan mutagenikPengelolaan Limbah B3Pengelolaan limbah bahan berbahaya ini memang memiliki potensi besar mencemari ekosistem. Namun dengan metode yang tepat, dampak negatif dari limbah B3 bisa ditekan. Menurut penjelasan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Buleleng, berikut beberapa metode untuk mengelola limbah Pengelolaan dengan Cara KimiawiPengelolaan limbah dengan cara kimiawi dilakukan untuk menghilangkan partikel yang sulit mengendap, logam berat, senyawa fosfor, dan zat organik beracun. Cara ini dilakukan dengan bantuan bahan kimia tertentu tergantung jenis dan kadar limbahnya. Pengolahan limbah B3 dengan bahan kimia umumnya dilakukan menggunakan metode stabilisasi/ solidifikasi. Metode ini adalah proses mengubah bentuk fisik dan atau senyawa kimia dengan menambah bahan pengikat atau zat pereaksi tertentu. Penambahan zat tersebut bertujuan untuk memperkecil kelarutan, pergerakan, dan penyebaran racun limbah sebelum bahan yang digunakan untuk proses stabilisasi/ solidifikasi yaitu semen, kapur, dan bahan termoplastik. Beberapa kelebihan dari proses pengelolaan secara kimiawi, antara lain; tidak terpengaruh polutan yang beracun atau toksik dan tidak bergantung pada perubahan Pengelolaan dengan Cara FisikPengelolaan limbah B3 dengan cara fisik ini dilakukan dengan penyisihan bahan tersuspensi berukuran besar dan mudah mengendap atau mengapung. Metode ini biasanya digunakan untuk menyisihkan bahan yang mengapung seperti minyak dan lemak. Cara ini juga digunakan untuk menyisihkan bahan tersuspensi atau pemekatan lumpur endapan dengan memberikan aliran udara ke atas. 3. Pengelolaan dengan Cara BiologiCara pengelolaan limbah B3 lainnya yaitu menggunakan cara biologi. Metode ini dikenal juga dengan istilah bioremediasi dan adalah pengelolaan limbah menggunakan bakteri atau mikroorganisme lain untuk mengurai limbah B3. Sementara fitoremediasi adalah pengelolaan limbah menggunakan tumbuhan untuk mengabsorbsi dan mengakumulasi bahan beracun dari tanah. Kedua cara tersebut memiliki manfaat yang sama yakni untuk mengatasi pencemaran lingkungan akibat limbah B3 dengan biaya yang relatif lebih murah dibandingkan metode kimia dan fisik. Bamun cara ini memiliki kekurangan karena membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membersihkan limbah dalam jumlah metode biologi juga dikhawatirkan bisa membawa senyawa beracun dalam rantai makanan di ekosistem Pembuangan Limbah B3Selain pengelolaan limbah B3, hal lain yang juga perlu diperhatikan yaitu terkait pembuangan limbah berbahaya ini. Mengutip dari berikut beberapa cara pembuangan limbah Sumur Dalam atau Sumur InjeksiCara pertama yang bisa dilakukan untuk membuang limbah yaitu dengan metode sumur dalam atau sumur injeksi. Cara ini dilakukan dengan memompa limbah melalui pipa ke lapisan batuan yang dalam. Limbah tersebut nantinya akan terperangkap di lapisan tersebut sehingga tidak mencemari tanah atau cara pembuangan ini masih menjadi kontroversi dan perlu pengkajian lebih lanjut terkait dampak yang mungkin akan ditimbulkan. Hal penting yang perlu diperhatikan jika ingin menggunakan metode ini yaitu terkait pemilihan tempat. Pastikan memilih tempat yang mempunyai struktur dan kestabilan geologi serta hidrogeologi yang Kolam PenyimpananMetode pembuangan limbah B3 lainnya yaitu menggunakan kolam penyimpanan. Kolam tersebut dilapisi dengan lapisan pelindung untuk mencegah perembesan. Saat air limbah menguap, maka senyawa yang berbahaya akan terkonsentrasi dan mengendap di bagian dasar dari metode ini yaitu memakan tempat sebab limbah akan tertimbun dalam kolam. Selain itu, ada juga kemungkinan terjadinya kebocoran pada lapisan pelindung atau terjadi penguapan senyawa berbahaya bersama air dan akhirnya menyebabkan pencemaran Landfill untuk Limbah B3Limbah B3 juga bisa ditimbun pada landfill khusus dengan pengamanan yang tinggi. Metode pembuangan ini biasanya dilakukan dengan cara memasukan limbah dalam drum atau tempat khusus, kemudian dikubur dalam ini harus dilengkapi dengan peralatan monitoring yang lengkap untuk mengawasi kondisi limbah B3. Jika dilakukan dengan benar, maka cara pengelolaan limbah B3 ini bisa efektif. Kekurangan dari metode ini yaitu membutuhkan biaya operasional yang tinggi, memiliki potensi kebocoran, dan tidak bisa memberikan solusi jangka panjang.
RetrieveEnergy, adalah pemanfaatan limbah untuk digunakan sebagai bahan bakar atau dalam arti yang luas adalah penghematan energi dalam proses produksi. 5. Pengertian Limbah B3 Menurut Philip Kristanto, menyatakan: "Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki
Home — Tindakan tidak bijaksana dalam penanganan limbah B3 adalah?Rizgy Agg✅ Jawaban terverifikasi ahliJawabanmengekspor limbah ke negara lain yang lebih majumengolah limbah dengan teknologi modernmenyimpan limbah untuk semenrara waktumembuangnya ke lautSemua jawaban benarJawaban D. membuangnya ke lautDilansir dari Ensiklopedia, tindakan tidak bijaksana dalam penanganan limbah b3 adalah membuangnya ke jawaban dari pertanyaan Tindakan tidak bijaksana dalam penanganan limbah B3 adalah?, Semoga bisa membantu kamu ya teman. Jika kamu masih punya pertanyaan lainnya, bisa kamu tulis di kolom komentar dibawah ya!Soal lainnyaBatang tumbuhan memiliki jaringan yang disebut dengan floem. Apakah yang dimaksud dengan floem? Kesimpulan hasil PTK sebaiknya merupakan penjelasan-penjelasan yang disusun sesuai dengan? Penyusunan pelari estafet jarak 4 × 400 meter menempatkan pelari tercepat pertama atau kedua pada posisi …. dan? Leave a ReplyAlamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai * Name * Email * Add CommentSave my name, email, and website in this browser for the next time I comment.
28 Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 29. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta
Jawaban yang benar adalah a. membuangnya ke lautCermati penjelasan berikut!Tindakan tidak bijaksana dalam penanganan limbah B3 pada pilihan di atas yaitu membuangnya ke laut, karena Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun B3 tidak dapat begitu saja ditimbun, dibakar atau dibuang ke lingkungan , karena mengandung bahan yang dapat membahayakan manusia dan makhluk hidup lain. Limbah ini memerlukan cara penanganan yang lebih khusus dibanding limbah yang bukan B3. Limbah B3 perlu diolah, baik secara fisik, biologi, maupun kimia sehingga menjadi tidak berbahaya atau berkurang daya racunnya. Oleh karena itu, jawaban yang benar adalah a. membuangnya ke laut pencemaranoleh bahan agrokimia atau limbah;f) penurunan populasi dan aktivitas mikroba; dan g) salinisasi/alkalinisasi.Akibat pengelolaan hara yang kurang bijaksana, sebagian besar lahan sawah terindikasi berkadar bahan organik sangat rendah (C-organik
HOHernandita O14 Februari 2022 1405BerandaSMABiologiBerikut ini tindakan yang tidak bijaksana dalam pe...HOHernandita O14 Februari 2022 1405PertanyaanBerikut ini tindakan yang tidak bijaksana dalam penanganan limbah B3 adalah ... a. membuangnya ke laut b. mengekspor limbah ke negara lain yang bebih maju c. mengolah limbah dengan teknologi modern d. melakukan reduksi e. menyimpan limbah untuk sementara waktu3rb+1MCA. Membuangnya ke lautMau jawaban yang terverifikasi?Tanya ke ForumBiar Robosquad lain yang jawab soal kamuRoboguru PlusDapatkan pembahasan soal ga pake lama, langsung dari Tutor!Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher di sesi Live Teaching, GRATIS!
Poinpembahasan Inspirasi 85+ Penanganan Limbah B3 Brainly adalah : penanganan limbah b3 di perusahaan, pertanyaan tentang limbah b3 brainly, dampak limbah b3 brainly, tindakan bijaksana dalam penanganan limbah b3, pengolahan limbah b3 secara kimia, pengolahan limbah b3 secara biologi, prosedur penanganan limbah, penanganan limbah biologi,
Beranda Articles Informasi B3 dan Pops SISTEM TANGGAP DARURAT DALAM PENGELOLAAN B3 DAN LIMBAH B3 SISTEM TANGGAP DARURAT DALAM PENGELOLAAN B3 DAN LIMBAH B3 Penulis RoslianaSetiap aktivitas industri akan membawa serta resiko tertentu terhadap kegagalan peralatan atau peristiwa yang tidak dikehendaki yang dapat berkembang menjadi suatu kecelakaan. Hasilnya dapat berupa kecelakaan perorangan, kerusakan peralatan serta hilangnya/menurunnya produksi dan barang serta lingkungan di sekitar tercemar akibat B3 tersebut. Resiko tersebut dapat terjadi baik di dalam lokasi industri maupun di luar lokasi pada saat B3 tersebut diangkut, didistribusikan maupun digunakan. Semakin meningkatnya penggunaan B3 dalam proses produksinya, maka akan meningkatkan mobilitas penggunaan B3 itu sendiri, hal ini secara langsung akan turut meningkatkan pula resiko kecelakaan industri. Pada saat ini jutaan jenis bahan kimia yang telah diidentifikasi dan dikenal, berarti resiko terjadinya kecelakaan semakin beragam sesuai dengan karakteristik jenis B3 tersebut. Tanggap darurat terhadap kecelakaan tersebut sangat diperlukan baik diakibatkan oleh manusia, teknologi maupun akibat bencana alam. Untuk itu perlu dibuat suatu sistem atau mekanisme tanggap darurat akibat kecelakaan B3 yang nantinya akan dituangkan dalam suatu pedoman yang akan digunakan para pihak stakeholder terkait. Menurut Penjelasan Pasal 19 PP 74/2001 Sistem tanggap darurat adalah mekanisme atau prosedur untuk menanggulangi terjadinya malapetaka dalam pengelolaan B3 yang memerlukan kecepatan dan ketepatan penanganan, sehingga bahaya yang terjadi dapat ditekan sekecil Pasal 1 PP 101/2014 Sistem Tanggap Darurat adalah sistem pengendalian keadaan darurat yang meliputi pencegahan, kesiapsiagaan, dan penanggulangan kecelakaan serta pemulihan kualitas lingkungan hidup akibat kejadian kecelakaan Pengelolaan Limbah B3. Tujuan adanya SistemTanggap DaruratMemberikan pedoman kepada pemerintah, penanggungjawab usaha dan masyarakat dalam mencegah, menanggulangi dan melakukan pemulihan dekontaminasi lingkungan hidup dari lepasan dan emisi B3 akibat kecelakaan Bahaya B3 Untuk membuat mekanisme atau sistem tanggapdarurat B3, maka perlu diidentifikasi terlebih dahulu siklus pengelolaan B3. Siklus pengelolaan B3 menurut PP 74 Tahun 2001 sebagaimana bagan di bawah ini yaitu memasukkan/impor, menghasilkan, mengangkut, mengedarkanGambar 1. Siklus Pengelolaan B3Dari siklus di atas potensi resiko kecelakaan B3 dapat terjadi pada tahapan dimana terdapat aktivitas penyimpanan dan pengangkutan B3. Pada proses produksi dapat terjadi kecelakaan B3 akibat malfunction teknologi alat maupun kategori sifat bahaya B3 mengacu kepada GHS yang terdiri dari bahaya terhadap fisik, bahaya terhadap kesehatan dan bahaya terhadap B3 tersebut dapat terjadi pada aktivitas pengangkutan dan penyimpanan B3 sebagaimana data-data di bawah ini. Tabel 1. Kejadian kecelakaan pengangkutan B3 No FaseTransportasi Kecelakaan Dirawat Tidak Dirawat Kerugian 1 In Transit 5296 4 26 $491,949,136 2 In Transit Storage 568 0 8 $8,824,410 3 Loading 3251 1 18 $3,226,993 4 Unloading 7857 5 75 $3,296,031 Sumber Hazmat Intelligence Portal, Department of Transportation. Data as of 1/15/2017. Data kecelakaan pengangkutan diperoleh dari Jasa Marga 2004-2016Awal tahun 2004, telah terjadi ledakan pada tangki B3 Phthalic anhydride dan Maleic anhydride yang merupakan bahan untuk pelemas plastik di pabrik PT. Petro Widada, Gresik, hari Selasa, 5 Mei 2015di daerah Grogol arah Pluit/Bandara, kendaraan container menabrak kendaraan tanki bermuatan AsamSulfat. Muatan Asam Sulfat tumpah kejalan tol, yang setelah mengenai aspal mengeluarkan asap. Beberapa pengguna jalan yang akan menuju Bandara tetap memaksa lewat menerobos tumpahan Asam Sulfat. Dilakukan penyemprotan/pembe rsihan tumpahan Asam Sulfat dengan air olehbantuan 2 dua kendaraan Damkar dari Sudin Damkar Jakarta Barat. Informasi dari warga di kolong jembatan Angke, ada seorang ibu bernama Sumiyati 30 tahun telah meninggal dunia diduga akibat terdampak tumpahan bahan kimia Asam Sulfat. Lima puluh lima 55 pengguna jalan yang terdampak tumpahan asam sulfat mengajukan 3September 2016, Truk LPG Pertamina B 9219 UFU dari arah Jakarta menuju Ciawi berhenti di bahu jalan karena mengalami kerusakan mesin selang BBM pecah. Pengemudi telah menarik rem tangan dan mengganjal ban. Selang beberapa lama kendaraan tersebut mundur dengan sendirinya hingga menabrak median dan terguling menutup lajur. Proses evakuasi menggunakan Rescue Truck dan Crane pada tanggal 3 September 2016. Evakuasi lanjutan menggunakan Crane tanggal 4 September hari Kamis, 08 September 2016, Truk Tangki Pertamina bermuatan Pertamax liter dari arah Surabaya menuju ke arah Porong oleng ke kiri menabrak pilar jembatan langsung terjadi ledakan dan terbakar kemudian oleng ke kanan menabrak kendaraan Avanza mengakibatkan kendaraan Avanza ikut terbakar. Lalu lintas di kedua arah Jalur A dan B ditutup dan dialihkan keluar gerbang tol terdekat. Kobaran api berhasil dipadamkan dua jam setelah kejadian dengan mengerahkan 5 unit PMK. Pengemudi kendaraan Avanza menjadi korban jiwa karena terbakar di dalam kendaraan;Mekanisme/Sistem Tanggap Darurat B3 dan Limbah B3KLHK sedang mengembangkan mekanisme Sistem Tanggap darurat B3 dan Limbah B3, adapun yang penulis paparkan dibawah ini adalah merupakan rangkuman dan analisis dari pembahsan dan studi yang sedang dan sudah dilakukan oleh KLHKSistem Tanggap Darurat menggunakan azas-azas yang terdapat dalam UU 32 Tahun 2009 yaitu azas keterpaduan, azas kehati-hatian, azas Polluter Pay Principle, asas tanggungjawab, serta azas cepat dan system tanggap darurat melibatkan 3 stakeholder yaitu Pemerintah, Industri/Jasa B3 dan Masyarakat sebagaimana bagan di bawah ini. Sebagaimana tercantum dalam PP 74 pasal 24, 25, 26, 27, bahwa ketiga stakeholder tersebut berperan dalam sistem tanggap darurat, sesuai dengan peran dan tanggungjawab masing-masing. Garis komando harus jelas untuk menghindari kesimpangsiuran pelaksanaan tanggungjawab dan peran sebagaimana gambar di bawah 3. Keterlibatan Stake Holder dalamSistemTanggapDaruratGambar 4. Bagan Garis Komando yang distudi oleh Program Cilegon Serang Emergency Prepadness Program Western Java Environmental Management Project Tahun sistem tanggap darurat tidak membedakan antara B3 dan limbah B3. Sistem tanggapdarurat yang dibangun adalah sama. Dikarenakan secara teknis dampak B3 danLimbah B3 adalah sama. Disamping itu juga apabila mengacu kepada aturan nasional di bidang pengangkutan B3 ataupun Limbah B3 yang dikeluarkan Kemenhub adalah sama, dimana Kemenhub mengacu kepada MDGs Code Material dangerous Goods Code yang mengacu kepada IMO International Maritim Organization dan UNEP. Di bidang pengangkutan nasional maupun internasional, B3 dan Limbah B3 dikategorikan sebagai Dangerous Goods. Tanggap darurat di pabrik in plant/mandiri dapat mengacu kepada Occupational Safety and Health Administration OSHA atau Kemenaker. Pada dasarnya industri yang mengolah dan menangani bahan yang mudah meledak, mudah terbakar seperti minyak bumi dan gas alam, bahan-bahan kimia B3 yang reaktif atau tidak stabil atau produk antara, memiliki resiko yang tinggi terhadap suatu bencana menghadapi hal tersebut, Kantor Industri dan Lingkungan IEO Amerika Serikat dan Program Lingkungan PBB UNEP berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari CMA Asosiasi Industri Kimia Amerika Serikat telah mengembangkan suatu program yang disebut Awareness and Prepadness for Emergency at Local Level APELL. Program ini merupakan kesadaran dan kesiapan menanggulangi keadaan darurat pada tingkat lokal. APELL terutama ditujukan bagi bahaya yang terjadi di dalam kawasan industri dan pada bergeraknya bahan berbahaya di lingkungan sekitar kawasan industri tersebut dan ini tidak membedakan B3 ataupun Limbah B3, tetapi yang dilihat adalah proses APELL akan melibatkan penduduk dan seluruh masyarakat baik lokal, regional, maupun internasional. Perbatasan teritorial atau yuridiksi sebaiknya tidak membatasi partisipasi semua unsur yang terkait di dalam proses APELL, sebaliknya menggarisbawahi kebutuhan proses APELL dalam mengembangkan rancangan penanggulangan keadaan darurat yang konteks kesadaran dan tanggap darurat, harus dipusatkan pada kecelakaan utama, yaitu kecelakaan yang menghasilkan efek-efek hingga di luar batas-batas wilayah perusahaan. Fokus ini hanya didasarkan pada asumsi bahwa efek-efek yang tidak meluas ke luar batasan-batasan lokasi perusahaan tersebut, maka berarti tidak perlu diaktifkan suatu rencana tanggap darurat bagi dasar APELL adalah meliputi sebagai berikut Sense of Awareness, yaitu meningkatkan kesadaran, kepedulian dari masyarakat, industri dan usahawan, serta pemerintah dalam hal ini Badan Lembaga Otoritas pemerintah daerah suatu industri maupun pusat; Sense of Preparedness, yaitu kesiapan sistem dan rancangan penanggulangan keadan darurat dengan melibatkan seluruh masyarakat, bersama industri dan pemerintah apabila keadaan darurat akibat kecelakaan atau bencana industri yang mengancam keselamatan lingkungan berdasarkan sistem informasi data base yang ini sudah diakomodir oleh PP 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3 pasal 24-27 serta PP 101/2014 tentang pengelolaan Limbah B3 pasal 217 – pasal 236. Adapun Rencana Tanggap Darurat Emergency Response Plan merujuk kepada OSHAS yang perlu disusun meliputi Pembentukan unit tanggap darurat, pembagian tugas personil, dan mekanisme tahapan penanggulangan darurat mandiri, gabungan dan nasional Melakukan identifikasi tempat atau jalur rawan keadaan darurat Melakukan identifikasi pos polisi, regu pemadam kebakaran dan pos kesehatan/RS terdekat. Prosedur pengumuman atau tanda terjadi keadaan darurat Menentukan jarak aman, lokasi evakuasi dan jalur evakuasi Prosedur pengamanan lokasi Prosedur handling B3 sesuai dengan karakteristiknya Prosedur pembersihan lokasi/area terpapar dari kontaminasi lepasan dan emisi B3 Prosedur pertolongan pertama Kompetensi Personil Sarana dan prasarana STD TrainingSedangkan penanggulangan keadaan darurat meliputi Petugas yang pertama mengetahui terjadi kecelakaan B3 melakukan upaya penghentian sumber lepasan dan emisi B3 Apabila tidak dapat dilakukan upaya penghentian sumber maka segera mengkomunikasikan kepada Unit Tanggap Darurat internal perusahaan pemadaman mandiri/In Plant Dalam hal penanggulangan mandiri tidak mampu segera mengkomunikasikan ke Pos Polisi terdekat, regu pemadam kebakaran, pos kesehatan untuk dilakukan pemadaman gabungan. Dalam hal penanggulangan gabungan tidak mampu segera mengkomunikasikan ke BNPB untuk dilakukan pengerahan sumber daya nasional. Menunjuk insident commander di lokasi yang bertugas 1 Melakukan kajian cepat penyebab, kelas hazard, dan luasan area terpapar2 Menugaskan Tim untuk melakukan pengukuran lepasan dan atau emisi B33 Menugaskan Tim yg terlibat langsung di lokasi dibagi dalam zona area terpapar panas, sedang dan dingin4 Melakukan penanganan terhadap B3 sesuai dengan karakteristik5 Menugaskan Tim pendukung peralatan penanggulangan, pengoperasian peralatan teknis di sekitar lokasi kecelakaan dan medis6 Menyampaikan informasi kepada Penggunaan jenis APD yang sesuai kelas hazardSistem Pembiayaan Sistem pembiayaan sebagai berikut Penanggungjawab usaha dan atau kegiatan membiayai seluruh operasionalisasi tahapan pencegahan, penanggulangan dan pemulihan dengan menggunakan mekanisme adanya asuransi lingkungan. Pembiayaan oleh Pemerintah apabila kecelakaan B3 masuk dalam kategori bencanaDaftar Pustaka DTIE, Division of Technology, Industry and Economics, Awareness and Preparedness for Emergencies at Local Level, “Examples of APELL application around the world”. Nations EnvironmentProgramme, APELL Handbook 2nd edition – 2015, Awareness and Preparedness for Emergencies at Local Level, “Aprocess for improving community awareness and preparedness for technological hazard sand environmental emergencies” Nations Environment Programme, 2012, “Commemorating 25 Years of Awareness and Preparedness for Emergencies at Local Level”. Safety and Health AdministrationUnited States DEPARTMENT OF LABOR, Roosita Asisten Deputi Urusan Manufaktur, Prasarana, dan Jasa, Deputi IV Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi Kementerian Lingkungan Hidup, Makalah „Mekanisme Pengawasan Dampak Lingkungan dan Sistem Tanggap Darurat dari Kegiatan Industri“, 2015 Views 28090
Verifikasijawaban pada pertanyaan Tindakan tidak bijaksana dalam penanganan limbah B3 adalah? melalui sumber buku, artikel, jurnal, dan blog yang ada di internet. Jadi, jawaban dari pertanyaan Tindakan tidak bijaksana dalam penanganan limbah B3 adalah? tidak perlu diragukan lagi.
– Kasus pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah di sungai atau kali kian marak dalam beberapa tahun belakangan. Seperti diketahui, limbah tidak hanya dihasilkan oleh rumah tangga atau perorangan, tapi juga dari industri. Tak jarang, industri menghasilkan limbah dari hasil sisa usaha berupa bahan berbahaya dan beracun atau dikenal sebagai limbah Peraturan Menteri Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan LHK Nomor 6 Tahun 2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, pengategorian limbah B3 dilihat dari sifat, konsentrasi kandungan bahan, serta jumlahnya. Sebuah limbah menjadi B3 ketika salah satu atau bahkan keseluruhan indikator tersebut dapat mencemarkan dan merusak lingkungan hidup serta membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, dan juga kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Kementerian LHK mengungkap bahwa, 59 persen sungai yang ada di Indonesia berada dalam kondisi tercemar berat. Adapun sumber limbah yang mencemari sungai berasal dari industri, peternakan, serta rumah tangga. Selain itu, data Kementerian LHK yang dikumpulkan sejak 2015-2020 menunjukkan indikasi peningkatan kasus lahan terkontaminasi limbah B3. Hal ini disebabkan oleh kegagalan atau kelalaian saat beroperasi, kesengajaan dan ketidakpatuhan, bencana alam, serta kegiatan masyarakat dalam mengelola limbah B3. “Rata-rata kejadian kedaruratan limbah B3 di Indonesia kurang lebih berjumlah 35 kejadian setiap tahun. Hal ini tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan kasus pencemaran baru,” tutur Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 PSLB3 Rosa Vivien Ratnawati. Sejatinya, pemerintah telah mengeluarkan regulasi terkait pengelolaan limbah B3. Dua di antaranya adalah Permen LHK Nomor 6 Tahun 2021 dan Peraturan Pemerintah PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan tersebut dibuat untuk mengawasi praktik pengelolaan limbah B3, baik yang dilakukan oleh industri maupun rumah tangga. Selain melalui kebijakan, pemerintah melalui Kementerian LHK juga aktif dalam mengatasi permasalahan limbah B3. Pada 29 Juli 2021, Kementerian LHK turut membantu segenap stakeholder mengelola limbah B3 medis akibat peningkatan kasus Covid-19. Menteri LHK Siti Nurbaya menjelaskan, Kementerian LHK telah menyiapkan tiga langkah dalam penanganan limbah B3 medis. Pertama, Kementerian LHK memberikan dukungan relaksasi kebijakan, terutama untuk fasilitas pelayanan kesehatan fasyankes yang belum memiliki izin. Mereka diberikan dispensasi operasi dengan syarat memiliki alat pembakaran sampah atau insinerator memiliki suhu 800 derajat Celcius dan diberikan supervisi. Kedua, Kementerian LHK memberikan dukungan sarana, mengingat kapasitas untuk memusnahkan limbah medis masih terbatas. Sebanyak lebih kurang 78 persen sarana pengelolaan limbah medis yang ada saat ini terpusat di Jawa. Sejak 2019, Kementerian LHK telah membantu 10 unit insinerator berkapasitas 150 kilogram kg/jam dan 300 kg/jam yang tersebar di berbagai daerah, yakni Sulawesi Selatan, Aceh, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan Papua Barat. “Ketiga, melakukan pengawasan. Kementerian LHK melakukan pembinaan, belum ke penegakan hukum pidana, kepada pihak yang membuang limbah B3 medis Covid-19 ke tempat pembuangan sampah akhir TPA,” kata Siti dilansir dari laman pada 29 Juli 2021. Pentingnya memahami pengelolaan limbah B3 bagi sektor usaha Perlu diketahui, pertumbuhan industri yang pesat berimbas pada jumlah limbah, termasuk jenis limbah B3 yang dihasilkan. Karena berbahaya dan beracun, pengelolaan limbah B3 perlu melewati serangkaian proses, mulai dari penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, hingga penimbunan. Pengelolaan limbah B3 harus dilakukan secara terpadu. Pasalnya, pengelolaan limbah B3 yang tidak tepat guna dapat menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, makhluk hidup lain, serta kerusakan lingkungan. Selain itu, pengelolaan limbah B3 harus memiliki izin dari pihak terkait guna mempermudah pengawasan, mulai dari bupati atau wali kota, gubernur, serta Kementerian LHK sesuai peraturan yang berlaku. Untuk diketahui, salah satu solusi pengelolaan limbah B3 yang paling efektif dan populer adalah menggunakan metode insinerasi. Teknologi ini memungkinkan pengelolaan limbah dilakukan secara termal dengan memanfaatkan energi panas untuk membakarnya. Adapun pembakaran tersebut dilakukan secara terkendali pada suhu tinggi dengan alat tertutup bernama insinerator. Energi panas yang digunakan dalam proses insinerasi tidak hanya mampu menghancurkan polutan dalam limbah, tapi juga mampu mengurangi masa dan volume limbah secara signifikan. Mulanya, teknologi insinerasi diaplikasikan pada pengolahan sampah guna menghemat airspace di dalam landfill. Seiring perkembangannya, teknologi ini banyak diterapkan dalam pengolahan limbah industri, termasuk limbah B3. Adapun jenis limbah yang bisa dikelola dengan metode ini adalah limbah organik yang dapat terbakar. Sebut saja, limbah berbahan plastik, oil sludge, paint sludge, used rags, bahan dan produk kadaluarsa, lumpur bekas pengeboran, bahan kimia kadaluarsa, sisa sampel dari lembaga riset, serta limbah medis dari fasilitas kesehatan. Jenis limbah lain yang pemusnahannya disarankan dengan pembakaran adalah limbah pestisida. Tahapan melakukan insinerasi Proses insinerasi dilakukan melalui berbagai tahap. Prosedur dan cara kerjanya dapat dilihat dari operasional perusahaan penyedia layanan pengolahan limbah B3, yakni PT Prasadha Pamunah Limbah Industri PPLI. Ada tiga proses insinerasi, yakni pra-penerimaan, pengangkutan, serta pengolahan limbah. Pada tahap pra-penerimaan, perusahaan penyedia layanan pengolahan limbah B3 biasanya akan melakukan karakterisasi terhadap limbah. Tujuannya, untuk mengetahui karakteristik, kandungan, potensi bahaya, serta kesesuaiannya untuk PPLI. Di bukit Eco-landfill inilah akhir dari perjalanan limbah B3 yang telah melalui proses sehingga ramah lingkungan. Karakterisasi diperlukan untuk menentukan jenis kemasan dan pengangkutan kendaraan yang sesuai, termasuk aspek keselamatan dan kesehatan pekerja. Proses itu juga menentukan biaya dan pembuatan kontrak kerja sama antara PPLI dan pengguna jasa. Setelah kontrak disetujui, pengambilan limbah akan dilakukan sesuai kesepakatan. Selanjutnya, pada tahap pengangkutan, pengambilan limbah dilakukan dengan menggunakan berbagai moda transportasi dan wadah khusus. Adapun kendaraan pengangkut limbah yang dimiliki PPLI terdiri dari truk pengangkat kait, truk derek, truk vakum, prime mover, drum van, gull wings, dek datar, serta kontainer besar berbagai ukuran. PPLI juga bekerja sama dengan PT Kereta Api Indonesia KAI untuk mengangkut limbah B3 menggunakan mode transportasi kereta api. Sementara, wadah limbah yang dipakai PPLI beragam dan disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan, mulai dari roll of boxes, compact or boxes, tangki ISO berbagai ukuran, 1,5 box lugger, hingga drill cutting box. Setelah limbah sampai di fasilitas PPLI, tahap selanjutnya adalah pengelolaan. Limbah yang sampai akan dites fingerprint. Tes ini merupakan uji laboratorium secara kualitatif yang bertujuan untuk memastikan bahwa parameter yang diuji memenuhi persyaratan izin. Tes tersebut juga berguna untuk memverifikasi limbah yang datang sesuai dengan informasi yang tertulis dalam manifes limbah B3 dan sama dengan persetujuan dalam kontrak. Setelah pemeriksaan selesai, limbah akan disimpan sementara dalam gudang penyimpanan sembari menunggu resep pengolahannya. Pada proses insinerasi, limbah akan dibakar pada suhu tinggi guna mendestruksi polutan menjadi senyawa sederhana berupa gas yang dapat dilepas ke lingkungan. Proses ini juga menghasilkan residu berupa abu yang nantinya akan ditimbun ke dalam landfill. Pengelola limbah industri dan limbah B3 terintegrasi Adakalanya limbah yang dihasilkan suatu industri memiliki jenis yang bervariasi. Jenis limbah yang bervariasi membutuhkan metode pengelolaan yang beragam. Oleh karena itu, suatu sistem pengelolaan limbah yang terintegrasi dibutuhkan guna mengelola berbagai jenis limbah industri dalam satu titik. PPLI sebagai pengelola limbah industri dan limbah B3 yang terintegrasi dapat dijadikan sebagai mitra dalam pengelolaan limbah industri. Pasalnya, PPLI mampu mengelola hampir semua jenis limbah dengan berbagai pilihan pengelolaan. PPLI menjadi perusahaan yang berfokus pada pengolahan limbah B3 selama lebih dari 27 tahun. Dengan luas lahan mencapai 64 hektare, perusahaan yang berpusat di Klapanunggal Bogor, Jawa Barat, ini menjadi salah satu perusahaan pengelola limbah terbesar di Indonesia. Sebagai informasi, PPLI baru saja meluncurkan insinerator terbesar berkapasitas hingga 50 ton per hari, pada Selasa 25/1/2022. Presiden Direktur PPLI Yoshiaki Chida mengatakan, kehadiran insinerator raksasa itu diharapkan dapat membantu pemerintah menyelesaikan masalah limbah B3 di Indonesia. Dengan kehadiran insinerator tersebut, PPLI diharapkan mampu mengelola limbah dengan total hingga 800 ton per hari. "Adanya insinerator berkapasitas besar itu akan memperkaya teknologi pengelolaan limbah yang dapat ditawarkan. Hal ini sekaligus memberikan fleksibilitas bagi PPLI sebagai one-stop-service pengelolaan limbah untuk seluruh industri di Indonesia," ujar Chida dalam siaran pers yang diterima Kamis 27/1/2022. Insinerator raksasa tersebut, lanjut Chida, telah mengantongi izin dari Kementerian LHK setelah melalui proses uji coba selama beberapa bulan. Dengan demikian, insinerator itu dapat beroperasi secara penuh. Lebih lanjut, Chida menerangkan bahwa metode insenerasi memanfaatkan panas untuk menghancurkan limbah dan polutan yang terkandung di dalamnya. "Limbah medis adalah salah satu yang dapat dikelola dengan metode ini," ujarnya. Chida melanjutkan bahwa keunggulan lain yang dimiliki oleh insinerator PPLI adalah ramah lingkungan dan dilengkapi dengan continuous emission monitoring system CEMS. CEMS merupakan peralatan pengendalian emisi sehingga dapat memenuhi persyaratan emisi yang terketat sekalipun seperti persyaratan emisi Uni Eropa. “Penggunaan CEMS untuk memantau parameter di flue gas secara lengkap. Teknologi ini merupakan yang pertama dan satu-satunya di Indonesia saat ini,” kata Chida. Sebagai informasi, peluncuran insinerator raksasa tersebut turut dihadiri oleh Direktur Pengelolaan Bahan Berbahaya Beracun Kementerian LHK Sayid Muhadhar dan Duta Besar Jepang H E Kanasugi Kenji. DOK. PPLI. Presiden Direktur PPLI Yoshiaki Chida meresmikan insinerator PPLI didampingi oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun LHK Sayid Muhadhar dan Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kanasugi Kenji. Selain itu, hadir pula para mitra, perwakilan kawasan industri, dan perusahaan pelanggan PPLI di berbagai sektor, mulai dari minyak dan gas, consumer goods, rumah sakit, otomotif, food and beverage, industri kimia, manufaktur, dan pulp and paper. Pada kesempatan tersebut, Manajemen PPLI turut mengajak tamu undangan untuk melihat langsung alat yang sebagian besar teknologinya dari Jepang itu. “Ke depan, insinerator PPLI diharapkan dapat terus berkontribusi secara maksimal menjaga bumi Nusantara dan menjadi solusi bagi negeri ini dalam pemusnahan limbah B3 secara masif,” ujar Chida. .
  • rojpb6b16u.pages.dev/112
  • rojpb6b16u.pages.dev/199
  • rojpb6b16u.pages.dev/226
  • rojpb6b16u.pages.dev/280
  • rojpb6b16u.pages.dev/306
  • rojpb6b16u.pages.dev/240
  • rojpb6b16u.pages.dev/334
  • rojpb6b16u.pages.dev/249
  • rojpb6b16u.pages.dev/66
  • tindakan tidak bijaksana dalam penanganan limbah b3 adalah