Home/BANK SOAL/Arti dari zuhud dalam kaitannya dengan bahasa adalah? BANK SOAL November 25, 2022 Less than a minute Arti dari zuhud dalam kaitannya dengan bahasa adalah? Lari Mengganggu Bergandengan tangan Diam Semua jawaban benar Jawaban A. Lari. Dilansir dari Ensiklopedia, arti dari zuhud dalam kaitannya dengan bahasa adalah lari.
Yangmana pada waktu itu memakai wol kasar adalah simbol dari kesederhanaan.1 Kata shuf tersebut juga diartikan dengan selembar Dilihat dari kaitannya dengan dunia spiritual dibandingkan dunia material. Para ahli mempercayai bahwa diungkapkan dalam bahasa dan terminologi-terminologi filsafat.13
Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi berbagai nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman. Sebagian orang salah paham dengan istilah zuhud. Dikira zuhud adalah hidup tanpa harta. Dikira zuhud adalah hidup miskin. Lalu apa yang dimaksud dengan zuhud yang sebenarnya? Semoga tulisan berikut bisa memberikan jawaban berarti. Mengenai zuhud disebutkan dalam sebuah hadits, عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِى عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِىَ اللَّهُ وَأَحَبَّنِىَ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ازْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِى أَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوكَ ». Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam lantas berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula manusia.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu.” HR. Ibnu Majah dan selainnya. An Nawawi mengatakan bahwa dikeluarkan dengan sanad yang hasan Dalam hadits di atas terdapat dua nasehat, yaitu untuk zuhud pada dunia, ini akan membuahkan kecintaan Allah, dan zuhud pada apa yang ada di sisi manusia, ini akan mendatangkan kecintaan manusia.[1] Penyebutan Zuhud Terhadap Dunia dalam Al Qur’an dan Hadits Masalah zuhud telah disebutkan dalam beberapa ayat dan hadits. Di antara ayat yang menyebutkan masalah zuhud adalah firman Allah Ta’ala tentang orang mukmin di kalangan keluarga Fir’aun yang mengatakan, وَقَالَ الَّذِي آَمَنَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ 38 يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآَخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ 39 “Orang yang beriman itu berkata “Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan sementara dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” QS. Ghafir 38-39 Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman, بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا 16 وَالْآَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى 17 “Tetapi kamu orang-orang kafir memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” QS. Al A’laa 16-17 Mustaurid berkata bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ – فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ “Demi Allah, tidaklah dunia dibanding akhirat melainkan seperti jari salah seorang dari kalian yang dicelup -Yahya berisyarat dengan jari telunjuk- di lautan, maka perhatikanlah apa yang dibawa.” HR. Muslim no. 2858 Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Dunia seperti air yang tersisa di jari ketika jari tersebut dicelup di lautan sedangkan akhirat adalah air yang masih tersisa di lautan.”[2] Bayangkanlah, perbandingan yang amat jauh antara kenikmatan dunia dan akhirat! Dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ “Seandainya harga dunia itu di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk tentu Allah tidak mau memberi orang orang kafir walaupun hanya seteguk air.” HR. Tirmidzi no. 2320. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih Tiga Makna Zuhud Terhadap Dunia Yang dimaksud dengan zuhud pada sesuatu –sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al Hambali- adalah berpaling darinya dengan sedikit dalam memilikinya, menghinakan diri darinya serta membebaskan diri darinya.[3] Adapun mengenai zuhud terhadap dunia para ulama menyampaikan beberapa pengertian, di antaranya disampaikan oleh sahabat Abu Dzar. Abu Dzar mengatakan, الزَّهَادَةُ فِى الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِتَحْرِيمِ الْحَلاَلِ وَلاَ إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِى الدُّنْيَا أَنْ لاَ تَكُونَ بِمَا فِى يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِى يَدَىِ اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِى ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا أَرْغَبَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ “Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin terhadapp apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.”[4] Yunus bin Maysaroh menambahkan pengertian zuhud yang disampaikan oleh Abu Dzar. Beliau menambahkan bahwa yang termasuk zuhud adalah, “Samanya pujian dan celaan ketika berada di atas kebenaran.”[5] Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Zuhud terhadap dunia dalam riwayat di atas ditafsirkan dengan tiga hal, yang kesemuanya adalah amalan batin amalan hati, bukan amalan lahiriyah jawarih/anggota badan. Abu Sulaiman menyatakan, “Janganlah engkau mempersaksikan seorang pun dengan zuhud, karena zuhud sebenarnya adalah amalan hati.“[6] Cobalah kita perhatikan penjelasan dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah terhadap tiga unsur dari pengertian zuhud yang telah disebutkan di atas. Pertama Zuhud adalah yakin bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih diharap-harap dari apa yang ada di sisinya. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang kokoh pada Allah. Oleh karena itu, Al Hasan Al Bashri menyatakan, “Yang menunjukkan lemahnya keyakinanmu, apa yang ada di sisimu berupa harta dan lainnya –pen lebih engkau harap dari apa yang ada di sisi Allah.” Abu Hazim –seorang yang dikenal begitu zuhud- ditanya, “Apa saja hartamu?” Ia pun berkata, “Aku memiliki dua harta berharga yang membuatku tidak khawatir miskin [1] rasa yakin pada Allah dan [2] tidak mengharap-harap apa yang ada di sisi manusia.” Lanjut lagi, ada yang bertanya pada Abu Hazim, “Tidakkah engkau takut miskin?” Ia memberikan jawaban yang begitu mempesona, “Bagaimana aku takut miskin sedangkan Allah sebagai penolongku adalah pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi, bahkan apa yang ada di bawah gundukan tanah?!” Al Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Hakikat zuhud adalah ridho pada Allah azza wa jalla.” Ia pun berkata, “Sifat qona’ah, itulah zuhud. Itulah jiwa yang “ghoni”, yaitu selalu merasa cukup.” Intinya, pengertian zuhud yang pertama adalah begitu yakin kepada Allah. Kedua Di antara bentuk zuhud adalah jika seorang hamba ditimpa musibah dalam hal dunia berupa hilangnya harta, anak atau selainnya, maka ia lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada dunia tadi tetap ada. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang sempurna. Siapakah yang rela hartanya hilang, lalu ia lebih harap pahala?! Yang diharap ketika harta itu hilang adalah bagaimana bisa harta tersebut itu kembali, itulah yang dialami sebagian manusia. Namun Abu Dzar mengistilahkan zuhud dengan rasa yakin yang kokoh. Orang yang zuhud lebih berharap pahala dari musibah dunianya daripada mengharap dunia tadi tetap ada. Sungguh ini tentu saja dibangun atas dasar iman yang mantap. Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hal ini telah mengajarkan do’a yang sangat bagus kandungannya, yaitu berisi permintaan rasa yakin agar begitu ringan menghadapi musibah. Do’a tersebut adalah, اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا “Allaahummaqsim lanaa min khosy-yatika maa yahuulu bihii bainanaa wa baina ma’aashiika, wa min thoo’atika maa tuballighunaa bihi jannatak, wa minal yaqiini maa tuhawwinu bihi alainaa mushiibaatid dunyaa” Ya Allah, curahkanlah kepada kepada kami rasa takut kepadaMu yang menghalangi kami dari bermaksiat kepadaMu, dan ketaatan kepadaMu yang mengantarkan kami kepada SurgaMu, dan curahkanlah rasa yakin yang dapat meringankan berbagai musibah di dunia HR. Tirmidzi no. 3502. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Inilah di antara tanda zuhud, ia tidak begitu berharap dunia tetap ada ketika ia tertimpa musibah. Namun yang ia harap adalah pahala di sisi Allah. Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan, “Siapa yang zuhud terhadap dunia, maka ia akan semakin ringan menghadapi musibah.” Tentu saja yang dimaksud zuhud di sini adalah tidak mengharap dunia itu tetap ada ketika musibah dunia itu datang. Sekali lagi, sikap semacam ini tentu saja dimiliki oleh orang yang begitu yakin akan janji Allah di balik musibah. Ketiga Zuhud adalah keadaan seseorang ketika dipuji atau pun dicela dalam kebenaran itu sama saja. Inilah tanda seseorang begitu zuhud pada dunia, menganggap dunia hanya suatu yang rendahan saja, ia pun sedikit berharap dengan keistimewaan dunia. Sedangkan seseorang yang menganggap dunia begitu luar biasa, ia begitu mencari pujian dan benci pada celaan. Orang yang kondisinya sama ketika dipuji dan dicela dalam kebenaran, ini menunjukkan bahwa hatinya tidak mengistimewakan satu pun makhluk. Yang ia cinta adalah kebenaran dan yang ia cari adalah ridho Ar Rahman. Orang yang zuhud selalu mengharap ridho Ar Rahman bukan mengharap-harap pujian manusia. Sebagaimana kata Ibnu Mas’ud, “Rasa yakin adalah seseorang tidak mencari ridho manusia, lalu mendatangkan murka Allah. Allah sungguh memuji orang yang berjuang di jalan Allah. Mereka sama sekali tidaklah takut pada celaan manusia.” Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang zuhud adalah yang melihat orang lain, lantas ia katakan, “Orang tersebut lebih baik dariku”. Ini menunjukkan bahwa hakekat zuhud adalah ia tidak menganggap dirinya lebih dari yang lain. Hal ini termasuk dalam pengertian zuhud yang ketiga. Pengertian zuhud yang biasa dipaparkan oleh ulama salaf kembali kepada tiga pengertian di atas. Di antaranya, Wahib bin Al Warod mengatakan, “Zuhud terhadap dunia adalah seseorang tidak berputus asa terhadap sesuatu yang luput darinya dan tidak begitu berbangga dengan nikmat yang ia peroleh.” Pengertian ini kembali pada pengertian zuhud yang kedua. [7] Pengertian Zuhud yang Amat Baik Jika kita lihat pengertian zuhud yang lebih bagus dan mencakup setiap pengertian zuhud yang disampaikan oleh para ulama, maka pengertian yang sangat bagus adalah yang disampaikan oleh Abu Sulaiman Ad Daroni. Beliau mengatakan, “Para ulama berselisih paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang mengatakan, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai macam syahwat.” Ada pula yang memberikan pengertian, “Zuhud adalah meninggalkan rasa kenyang” Namun definisi-definisi ini saling mendekati. Aku sendiri berpendapat, أَنَّ الزُهْدَ فِي تَرْكِ مَا يُشْغِلُكَ عَنِ اللهِ “Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah.”[8] Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Definisi zuhud dari Abu Sulaiman ini amatlah bagus. Definisi telah mencakup seluruh definisi, pembagian dan macam-macam zuhud.”[9] Jika bisnis yang dijalani malah lebih menyibukkan pada dunia sehingga lalai dari kewajiban shalat, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Begitu pula jika permainan yang menghibur diri begitu berlebihan dan malah melalaikan dari Allah, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Demikian pengertian zuhud yang amat luas cakupan maknanya. Dunia Tidak Tercela Secara Mutlak Ada sebuah perkataan dari Ali bin Abi Tholib namun dengan sanad yang dikritisi. Ali pernah mendengar seseorang mencela-cela dunia, lantas beliau mengatakan, “Dunia adalah negeri yang baik bagi orang-orang yang memanfaatkannya dengan baik. Dunia pun negeri keselamatan bagi orang yang memahaminya. Dunia juga adalah negeri ghoni yang berkecukupan bagi orang yang menjadikan dunia sebagai bekal akhirat. …”[10] Oleh karena itu, Ibnu Rajab mengatakan, “Dunia itu tidak tercela secara mutlak, inilah yang dimaksudkan oleh Amirul Mukminin –Ali bin Abi Tholib-. Dunia bisa jadi terpuji bagi siapa saja yang menjadikan dunia sebagai bekal untuk beramal sholih.” Ingatlah baik-baik maksud dunia itu tercela agar kita tidak salah memahami! Dunia itu jadi tercela jika dunia tersebut tidak ditujukan untuk mencari ridho Allah dan beramal sholih. Zuhud Bukan Berarti Hidup Tanpa Harta Sebagaimana sudah ditegaskan bahwa dunia itu tidak tercela secara mutlak. Namun sebagian orang masih salah paham dengan pengertian zuhud. Jika kita perhatikan pengertian zuhud yang disampaikan di atas, tidaklah kita temukan bahwa zuhud dimaksudkan dengan hidup miskin, enggan mencari nafkah dan hidup penuh menderita. Zuhud adalah perbuatan hati. Oleh karenanya, tidak hanya sekedar memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang bisa dinilai sebagai orang yang zuhud. Jika ada ciri-ciri zuhud sebagaimana yang telah diutarakan di atas, itulah zuhud yang sebenarnya. Berikut satu kisah yang bisa jadi pelajaran bagi kita dalam memahami arti zuhud. Abul Abbas As Siroj, ia berkata bahwa ia mendengar Ibrahim bin Basyar, ia berkata bahwa Ali bin Fudhail berkata, ia berkata bahwa ayahnya Fudhail bin Iyadh berkata pada Ibnul Mubarok, أنت تأمرنا بالزهد والتقلل، والبلغة، ونراك تأتي بالبضائع، كيف ذا ؟ “Engkau memerintahkan kami untuk zuhud, sederhana dalam harta, hidup yang sepadan tidak kurang tidak lebih. Namun kami melihat engkau memiliki banyak harta. Mengapa bisa begitu?” Ibnul Mubarok mengatakan, يا أبا علي، إنما أفعل ذا لاصون وجهي، وأكرم عرضي، وأستعين به على طاعة ربي. “Wahai Abu Ali yaitu Fudhail bin Iyadh. Sesungguhnya hidupku seperti ini hanya untuk menjaga wajahku dari aib meminta-minta. Juga aku bekerja untuk memuliakan kehormatanku. Aku pun bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada Rabbku”.[11] Semoga pembahasan kami kali ini dapat memahamkan arti zuhud yang sebenarnya. Raihlah kecintaan Allah lewat sifat zuhud. Semoga Allah menganugerahkan pada kita sekalian sifat yang mulia ini. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Artikel Al Faqir Ilallah Muhammad Abduh Tuasikal Diselesaikan di sore hari, 17 Jumadits Tsani 1431 H 30/05/2010, di Panggang-GK Baca Juga Sudahlah Maafkanlah Dia Agar Allah Memaafkan Kita Wara, Meninggalkan yang Meragukan [1] Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 346, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H. [2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 11/232, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379. [3] Idem. [4] HR. Tirmidzi no. 2340 dan Ibnu Majah no. 4100. Abu Isa berkata Hadits ini gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur sanad ini, adapun Abu Idris Al Khaulani namanya adalah A’idzullah bin Abdullah, sedangkan Amru bin Waqid dia adalah seorang yang munkar haditsnya. Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Yang tepat riwayat ini mauquf hanya perkataan Abu Dzar sebagaimana dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhd.” Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 346 [5] Dikeluarkan oleh Ibnu Abid Dunya dari riwayat Muhammad bin Muhajir, dari Yunus bin Maysaroh. Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 347 [6] Jaami’ul Ulum, hal. 347. [7] Kami sarikan point ini dengan sedikit perubahan redaksi dari Jaami’ul Ulum, hal. 347-348. [8] Disebutkan oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam Hilyatul Awliya’, 9/258, Darul Kutub Al Arobi, Beirut, cetakan keempat, 1405 H. [9] Jaami’ul Ulum, hal. 350. [10] Jaami’ul Ulum, hal. 350 [11] Siyar A’lam An Nubala, Adz Dzahabi, 8/387, Mawqi’ Ya’sub penomoran halaman sesuai cetakan.
ArticlePDF Available AbstractDalam ajaran Tasawuf terdapat praktek zuhud, dimana jalan hidupseorang sufi meninggalkan dunia, dan mengosongkan hati hanya untukAllah. Cara hidup zuhud telah menjadi bagian penting dalam ajarantasawuf, namun Ihsan Ilāhi Zhāhir menyebutkan bahwa konsep zuhudyang difahami oleh kaum sufi adalah konsep zuhud yang radikal, makadengan ini perlu ditelusuri bagaimana konsep zuhud yang dijelaskandalam Al-Quran. Tulisan ini memakai metode library research untuk pencarian datasebagai bahan-bahan kajian dalam makalah ini, dengan memakai bukubukubertemakan tasawuf dan zuhud, dan yang memiliki korelasiterhadap kajian dalam makalah ini. Kemudian penelitian ini jugamelengkapi dengan penelusuran buku-buku tafsir untuk memberikaninterpretrasi terhadap ayat-ayat yang terdapat dalam makalah ini. Tasawuf merupakan khazanah ilmu dalam Islam, perkembangantasawuf membawa dimensi khusus yang dianggap sebagai cara khasyang ada dalam Islam. Ibrahim Basyuni telah memilih empat puluhdefinisi tentang tasawuf yang diambil dari rumusan ahli sufi yangdiambil pada abad III, meskipun definisi tersebut demikian banyak,belum didapati sebuah definisi yang mencangkup pengertian tasawufsecara menyeluruh. Diantara ayat-ayat yang berkaitan dengan zuhud adalah pada AlHadīd[57]20 dan 23, Al-Qashāsh [28] 77, dan Al-Mā`idah [5] 87. Dan dari empat ayat beserta tafsirnya, maka dapat diambil konsep zuhud dalam Al-Quran yaitu, kesederhanaan, kesabaran, wara‟, dan keseimbangan tawāzun Keyword Sufi, Tasawuf, Zuhud Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Zuhud dalam Al-Qur‟an ZUHUD DALAM AL-QURAN Rumba Triana Dosen Tetap STAI Al Hidayah Bogor email HP. 081382069794 Abstrak Dalam ajaran Tasawuf terdapat praktek zuhud, dimana jalan hidup seorang sufi meninggalkan dunia, dan mengosongkan hati hanya untuk Allah. Cara hidup zuhud telah menjadi bagian penting dalam ajaran tasawuf, namun Ihsan Ilāhi Zhāhir menyebutkan bahwa konsep zuhud yang difahami oleh kaum sufi adalah konsep zuhud yang radikal, maka dengan ini perlu ditelusuri bagaimana konsep zuhud yang dijelaskan dalam Al-Quran. Tulisan ini memakai metode library research untuk pencarian data sebagai bahan-bahan kajian dalam makalah ini, dengan memakai buku-buku bertemakan tasawuf dan zuhud, dan yang memiliki korelasi terhadap kajian dalam makalah ini. Kemudian penelitian ini juga melengkapi dengan penelusuran buku-buku tafsir untuk memberikan interpretrasi terhadap ayat-ayat yang terdapat dalam makalah ini. Tasawuf merupakan khazanah ilmu dalam Islam, perkembangan tasawuf membawa dimensi khusus yang dianggap sebagai cara khas yang ada dalam Islam. Ibrahim Basyuni telah memilih empat puluh definisi tentang tasawuf yang diambil dari rumusan ahli sufi yang diambil pada abad III, meskipun definisi tersebut demikian banyak, belum didapati sebuah definisi yang mencangkup pengertian tasawuf secara menyeluruh. Diantara ayat-ayat yang berkaitan dengan zuhud adalah pada Al-Hadīd [57] 20 dan 23, Al-Qashāsh [28] 77, dan Al-Mā`idah [5] 87. Dan dari empat ayat beserta tafsirnya, maka dapat diambil konsep zuhud dalam Al-Quran yaitu, kesederhanaan, kesabaran, wara‟, dan keseimbangan tawāzun Keyword Sufi, Tasawuf, Zuhud Zuhud dalam Al-Qur‟an A. Pendahuluan Saat Islam sudah mulai tumbuh dan berkembang maka tidak bisa terhalangi aktifitas Islam di banyak negara-negara yang bukan Arab menjalankan Islam sesuai kedekatan budaya yang ada dalam wilayahnya masing. Dua kutub besar telah memiliki pengaruh dalam peradaban keilmuan Islam, Hijaz dengan tradisi ilmu yang bersumber dari âtsar dan tidak rentan dari tumbuhnya pemikiran-pemikiran yang keluar dari mainstream Islam yang telah ada. Adapun wilayah Iraq dan sekitarnya sebagai sebuah wilayah yang dikenal memiliki pertumbuhan yang pemikiran Islam yang lebih variatif, baik dalam fikih yang terkenal dengan madzhab ra‟yunya, dan ajaran-ajaran lainnya seperti munculnya aktifitas orang-orang sufi yang kemudian dikenal dengan ajarannya dengan nama tasawuf. Dalam perjalanannya tasawuf pun terlibat pro dan kontra tentang ajaran dan keyakinannya, diawal pemikirannya yang hanya masuk dalam aktifitas ibadah dan mengosongkan dari aktifitas dunia, dan terus berkembang sampai kepada cara ibadah yang khas yang pada akhirnya menuai kontroversi. Penolakan ajaran ini pun berkembang disemua zaman hingga hari ini, bahkan sejak kemunculannya saja ajaran ini sudah mengalami penolakan. Sehingga tidak sulit untuk mencari refrensi-refrensi yang berbicara tentang tasawuf. Pada dekade abad ke-3 H, tasawuf sudah berkembang menjadi tren beragama baru bagi orang Islam, ditengah-tengah kejenuhan mereka terhadap dunia. Dalam ajaran tasawuf terdapat praktek zuhud, dimana seorang sufi diharuskan meninggalkan dunia, dan mengosongkan hati hanya untuk Allah. Ihsan Ilāhi Zhāhir menyebutkan bahwa konsep zuhud yang difahami oleh kaum sufi adalah konsep zuhud yang radikal, karena “berlebih-lebihan dalam melaparkan diri, menelanjangkan diri, meninggalkan hal-hal yang halal, menyengsarakan diri, menyusahkan diri, menysiksa diri, membebani diri dengan sesuatu yang tidak mampu dipikulnya, mendatang mudarat, berlebih-lebihan dalam perintah-perintah Allah SWT. dan larangn-larangany-Nya, menghadap ke haribaan Alla SWT. dan Rasul-Nya hinga sampai pada tarap menjauhi apa yang diperintahkan-Nya, mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya, menghalalkan apa yang diharamkan-Nya, mengerjakan apa yang Zuhud dalam Al-Qur‟an dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.” Maka dengan ini perlu ditelusuri bagaimana konsep zuhud yang dijelaskan dalam Al-Quran. Tulisan ini memakai metode library research untuk pencarian data sebagai bahan-bahan kajian dalam makalah ini, dengan memakai buku-buku bertemakan tasawuf dan zuhud, dan yang memiliki korelasi terhadap kajian dalam makalah ini. Kemudian penelitian ini juga melengkapi dengan penelusuran buku-buku tafsir untuk memberikan interpretrasi terhadap ayat-ayat yang terdapat dalam makalah ini. B. Pengertian dan Hakikat Tasawuf Tasawuf merupakan khazanah ilmu dalam Islam, perkembangan tasawuf membawa dimensi khusus yang dianggap sebagai cara khas yang ada dalam Islam, tasawuf adalah wasilah medium yang ditempuh oleh seorang mukmin melalui proses upaya dalam rangka menghakikatkan syariat lewat thariqat untuk mencapai makrifatMenurut Abah Anom, tasawuf berpangkal pada pribadi Nabi Muhammad SAW. Gaya hidupnya sederhana, tetapi penuh kesungguhan. Akhlak Rasulullah SAW. tidak bisa dipisahkan dari kemurnian cahaya Al-Quran. Akhlak Rasulullah SAW itulah titik tolak dan titik perhentian cita-cita tasawuf ini dinamai ilmu tasawuf mengingat secara morfologis lughah tasawuf berasal dari kata shafâ yang berarti bersih, jernih dan suci dari kotoran serta penuh dengan berbagai keteladanan dan bagi mereka emas tak lebih berharga daripada tanah lempung. Sedangkan arti tasawuf secara terminologi diuraikan secara baik oleh Sayyid Nur bin Sayyid Ali, “sebagai metode pendidikan spritual yang dianggap berada dalam derajat media temporal-transisional, yang direkam untuk memperkokoh keimanan, mencapai derajat ihsan, mensucikan jiwa Tazkiyah Al-Nafs dan memperbaiki hati Ishlah Al-Qalb. Sehingga memudahkan seorang hamba beriman mentaati Allah dan mentaati Rasulullah. Secara ringkas Sa‟id Hawa mendefinisikan tasawuf Ihsan Ilāhi Zhāhir, Darah Hitam Tasawuf Studi Kritis Kesesastan Kaum Sufi, Jakarta Darul Haq, 2006 M, Hlm. 1 Jamaluddin Kafie, Tasawuf Kontemporer, Jakarta Mutiara Al-Amin Prenduan, 2003, Asep Salahudin, Abah Anom Wali Fenomenal Abad 21 & Ajarannya, Jakarta Penerbit Noura Books, 2013, Hlm. 160, Zuhud dalam Al-Qur‟an sebagai, “berjalan menuju Allah, dijalan yang ditentukan Allah, untuk mencapai ridha menyebut kata tasawuf dengan arti suatu ilmu tentang kesucian diri dengan menetapkan hati dan raga untuk beribadah dan menghubungkan diri kepada Allah SWT, agar menjadi manusia yang sempurna insan kamil. Sementara Nicholson dalam didalam sebuah makalah Kedudukan Tasawuf Dalam Islam, menyatakan bahwa terdapat lebih dari 78 pengertian tasawuf yang salah satu diantaranya mengandung arti Al-Shafâ` yang berarti bahwa kegiatan dan fokus utama perbuatan atau amaliah tasawuf adalah proses mesucikan diri kita sebagai manusia yang beriman kepada Allah SWT., bebas dari keterikatan pada hal-hal yang menjauhkan manusia dari Allah adalah nama yang diberikan bagi mistikisme dalam Islam, yang oleh para orientalis Barat disebut sebagai sufism sufisme. Kata sufisme dalam literatur barat, khusus dipakai untuk mistikisme Islam, Islamic Mysticism atau mistik yang tumbuh dalam Islam. Sufisme atau tasawuf The Mystic Of Islam tidak dipakai untuk mistikisme yang terdapat dalam agama lain, Dengan demikian jelas bahwa sufisme telah diakui oleh dunia barat sebagai mistik yang murni dalam Islam dan diakui telah memiliki sistematika keilmuan tersendiri. Sebagai kesimpulan, pengertian dari berbagai asal kata dan tradisi tasawuf itu, dalam kamus Hornby definisi tasawuf atau mistik, “Mistikisme adalah suatu ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan tentang hakikat Tuhan bisa didapatkan melalui meditasi atau kesadaran spritual yang bebas dari campur tangan akal dan panca Indra.”Selanjutnya pembicaraan seputar tasawuf, akan didapati perselisihan dalam asal penamaan, hakikat tasawuf, dan sejarah kemunculannya. Ibrahim Basyuni telah memilih empat puluh definisi tentang tasawuf yang diambil dari rumusan ahli sufi yang diambil pada abad III, meskipun definisi tersebut demikian banyak, belum didapati sebuah definisi yang mencangkup pengertian tasawuf secara Ahmad Dimyati, Dakwah Personal Model Dakwah Kaum Naqsanbadiyah, Yogyakarta Penerbit Deepublish, 2016, Hlm. 20 Rani Anggraini Dewi, Menjadi Manusia Holistik, Jakarta Penerbit Hikmah, 2006, Muhammad Solikhin, Filsafat dan Metafisika Dalam Islam Sebuah Penjelajahan Pengalaman Mistik, Dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula Gusti, Yogyakarta Penerbit Narasi, 2008, hlm. 272 Zuhud dalam Al-Qur‟an menyeluruh. Hal ini kata Basyuni disebabkan oleh karena para ahli tasawuf tidak ada yang memberikan definisi tentang ilmunya sebagaimana filsuf. Ahli tasawuf hanya menggambarkan tentang suatu keadaan yang dialami dalam kehidupan ruhaninya pada waktu tertentu. Ibrahim Basyuni telah memilih empat puluh definisi tentang tasawuf yang diambil dari rumusan ahli sufi yang diambil pada abad III, meskipun definisi tersebut demikian banyak, belum didapati sebuah definisi yang mencangkup pengertian tasawuf secara menyeluruh. Hal ini kata Basyuni disebabkan oleh karena para ahli tasawuf tidak ada yang memberikan definisi tentang ilmunya sebagaimana filsuf. Ahli tasawuf hanya menggambarkan tentang suatu keadaan yang dialami dalam kehidupan ruhaninya pada waktu Ilâhi Zhâhir seorang pakar madzab pemikiran dalam Islam menyebutkan bahwa para ilmuwan telah berbeda pendapat untuk mencari asal kata dari tasawuf atau sufi. Dengan menukil dari beberapa pendapat dari para sufi, pendapat-pendapat mengenai asal kata dari sufi adalah; Al-Shafā` ketenangan, Shafwa, kemudian juga disebukan dinamakan sufi karena mereka adalah Shafā` Asrār bersihnya hati, Shifatullah, Shaff Al-Awwal, Ahlussuffah, Al-Shūf pakaian wol. Kemudian menurut Ihsan Ilāhi sufi juga dipanggil dengan nama-nama lain yang berkesesuaian dengan sifat mereka, Ghurabā`, Siyāĥūn, Syakafatiyyah gua, Jū‟iyyah, Fuqarā`, Shūfiyyah, Nūriyyah. Dan inilah nama-nama yang dikenal telah dilekatkan kepada kelompok ini, sedangkan nama yang kemudian menjadi familiar yaitu dengan nama Taymiyyah menguatkan asal kata dari sufi, dengan sekaligus memberikan kritik atas kata-kata tersebut. Al-Shuffah, kata ini kaitkan dengan arti adalah bahwa orang-orang sufi adalah sekelompok kaum Muslimin yang tinggal disekitar masjid Nabawiy dan mereka bukanlah asli penduduk Madinah tapi para transmigran muhājirin yang menetap disekitar Masjid Nabawi dikarenakan kemiskinan mereka sehingga mereka menetap disana. Ibnu Taymiyyah mengoreksi jika kata sufi berasal dari kata shuffah maka yang benar, mereka dinamakan dengan kata Shuffiyyah. Al-Shafā`, maksud dari kata ini adalah bahwa meraka orang yang tenang dalam jiwanya dan baik dalam Sokhi Huda, Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah, Yogyakarta LKiS Yogyakarta, 2008, hlm. 25 Ihsan Ilâhi Dzâhir, Al-Tashawwuf Al-Mansya` Wa Al-Mashâdir, Pakistan Idârah Tarjaman Al-Sunnah, 1406 H, Hlm. 20-36 Zuhud dalam Al-Qur‟an hal-hal yang rahasia. Namun Ibn Taymiyyah juga mengkritik kata ini, jika asal kata sufi dari kata Al-Shafā` maka yang benar mereka akan dinamakan dengan shafāiyyah atau shafwiyyah. Al-Shaff, yang dimaksud dengan kata ini sangat banyak, diantaranya shaff pertama dalam shalat. Ibn Taymiyyah menjelaskan jika yang dimaksud kata sufi dengan kalimah ini, maka seharusnya kalimat yang dipakai adalah shafiyyah. Al-Shūfah, kalimat ini muncul dari julukan seseorang yang yang bernama Al-Ghauts Ibn Mur, laki-laki ini dijuluki dengan Al-Shūfah karena pada saat itu Al-Ghauts Ibn Mur menjadi pelayan di Kabah sendirian sehingga dengan itu ia dijuluki manusia dengan Al-Shūfah. Menurut pandangan Ibn Taymiyyah kata ini yang tepat yang bisa dijadikan padanan kata untuk kata shūfi. Dari sudut pandang bahasa, tasawuf berasal dari kata shūf yang berarti kain yang terbuat dari kain wol. Pengambilan definisi ini erat kaitannya dengan pakaian yang lazim dikenakan oleh orang-orang yang mendalami tasawuf atau kaum sufi . Kain wol yang mereka pakai adalah kain wol kasar, bukan wol yang halus dan mahal seperti sekarang ini. Pakaian wol ini dulu sebagai simbol kesederhanaan dan kesahajaan. Dengan pakaian ini kaum sufi mengidentikan diri sebagai kelompok yang bergaya hidup sederhana. Secara terminologis, definisi tasawuf bermacam-macam. Setiap ulama dan imam sufi mengungkapkan definisi tasawuf berbeda-beda, sesuai dengan pengalaman batin yang mereka alami masing-masing. Syaikh Markhuf Al-Kurkhi mengungkapkan bahwa tasawuf mengambil hakikat dan putus asa terhadap apa yang ada ditangan makhluk. Sedangkan imam besar kaum sufi, yaitu imam Junaid Al-Baghdâdi mengatakan bahwa tasawuf adalah keyakinan bahwa engkau bersama Allah SWT tanpa penghubung dengan siapapun Dan kata tasawuf dapat memiliki beberapa kemungkinan tentang asal usulnya diantaranya adalah berasal dari kata ibnu sauf yang sudah dikenal sebelum Islam datang sebagai gelar seorang anak Arab yang saleh, yang selalu mengasingkan diri dekat Ka‟bah guna mendekatkan diri kepada Tuhannya ia bernama Ghaus bin Murr. Atau yang yang lain adalah kata tasawuf diambil dari perkataan suffah yang dipergunakan Ahmad Ibn Muhammad Banâni, Mawqifu Al-Imâm Ibn Taymiyyah Min Al-Tashawwuf wa Al-Shūfiyyah, Riyadh Dâr Al-Ilm, 1406 H, Hlm. 67-68. ________Majalah Cahaya Nabawi Memahami Tasawuf, Edisi 155, Desember 2016, hlm 27-28 Zuhud dalam Al-Qur‟an untuk nama surat ijazah untuk orang naik haji. Bisa juga dimungkinkan berasal dari kata sophia yang berarti hikmah atau lebih jauh Zaki menawarkan kembali sebuat istilah dengan tasawuf Islami, “adalah mempunyai pengertian membersihkan diri takhali dari sesuatu yang hina, dan menghiasinya dengan sesuatu yang baik untuk mencapai tingkat yang lebih dekat dengan Allah atau sampai kepada maqam yang tinggi.”Dan untuk inilah Al-Ghazâlî menarik pengertian tasawuf dari hadis Rasulullah SAW. mengenai agama apa itu agama tentang Islam, Iman dan Ihsan untuk memberikan kesan tentang tasawuf meruupakan ajaran Islam yang bersumber dari sifat Ihsan jadi menurut Al-Ghazâlî tasawuf merupakan rukun dalam akhir kesimpulan dalam perbedaan pendapat ini, tidak ada satu pendapat manapun yang dianggap lebih tepat dari yang lain, maka setiap bagian kata akan digunakan untuk mewakili eksistensi dari tasawuf. Jika tasawuf yang dimaksud adalah akhlak maka akan mengambil definisi Al-Shafā`, jika tasawuf adalah zuhud maka akan diambil pengertian Al-Shūf, begitu selanjutnya, dimana setiap bagian dari kata tasawuf dapat digunakan untuk menunjukan hakikat yang hendak dibicarakan. C. Sejarah Dan Perkembangan Tasawuf Begitu juga ketika bicara tentang sejarah munculnya tasawuf, sampai kepada pelembagaannya, terdapat perbedaan pencatatan dan pendapat-pendapat tentang sebab munculnya. Dalam muqaddimahnya Ibnu Khaldun mengatakan “Ilmu tasawwuf adalah salah satu diantara ilmu-ilmu syariat yang baru dalam Islam. Asal mulanya ialah amal perbuatan ulama salaf dari para sahabat, tabiin dan orang-orang sesudah mereka. Dasar tasawuf adalah ialah tekun beribadah memutuskan jalan selain jalan menuju Allah berpaling dari kemegahan dan kemewahan terhadap dunia, melepakan diri dari apa yang Safrudin Aziz, Pendidikan Seks Berbasis Terapi Sufistik Bagi LGBT, Penerbit ernest, 2017, Kendal, hlm. 147 Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Hitam Putih, Solo Penerbit Tiga Serangkai, 2006, cet. 2, Hlm. 3 Himawijaya, Mengenal Al-Ghazali For Teens Keraguan Adalah Keyakinan, Bandung Dar! Mizan, 2004, hlm. 55-56 Zuhud dalam Al-Qur‟an diinginakan oleh mayoritas manusia berupa kelezatan harta dan pangkat, serta mengasingkan diri dari makhluk dan berkhalwat untuk beribadah, yang demikian ini sangat umum dilakukan oleh para sahabat dan ulama salaf. Lalu ketika manusia mulai condong dan terlena dengan urusan duniawi pada abad kedua dan setelahnya, nama sufi mulai dikhususkan bagi orang-orang yang tekun beribadah saja.” Muhammad shadiq Al-Ghumari mengatakan bahwa pendapat Ibnu Khaldun mengenai sejarah munculnya tasawuf ini diperkuat oleh pendapat yang disampaikan oleh Al-Kindi dalam kita Wulât Mishr dalam pembahasan yang terjadi pada tahun 200 Hijriah. Pada waktu itu kota Iskandariyah muncul sekelompok orang yang bernama sufi, yang menyeru kepada kebaikan. Dalam pendapat Al-Mas‟udi dalam kitab Murūd Al-Dzahab, Al-Mas‟udi meriwayatkan dari Yahya ibn Aktsam bahhwa pada suatu hari Khalifah Makmun sedang duduk di Istana, ketika Ali ibn Shaleh masuk sambil berkata, “Wahai amirul mukminin ada seorang laki-laki diluar. Dia memakai pakaian putih yang kasar dan memohon agar bertemu denganmu untuk mendiskusikan sesuatu. Dan setahuku dia dari kalangan sufi.” Haji Khalifah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali dinamakan dengan sufi adalah Abu Hasyim Al-Shūfi yang wafat pada tahun 150 H, “Ketahuilah bahwa kaum muslimin sesudah Rasulullah tidak menamakan orang-orang yang paling utama diantara mereka dengan nama selain „sahabat‟, sebab ketika itu tidak ada nama yang paling utama diantara mereka dari nama „sahabat‟. Setelah era sahabat, manusia berselisih dan tingkatan mereka semakin bervariasi. Orang yang tekun menjalankan agama disebut zāhid ahli zuhud atau „ābid ahli ibadah. Kemudian muncullah bid‟ah, dan setiap kelompok mengklaim bahwa didalam kelompok mereka ada orang yang berlaku zuhud. Setelah itu ahli zuhud dari kalangan ahlussunnah yang senantiasa memelihara hubungan mereka dengan Allah dengan menjaga hati mereka dari kelalaian, menggunakan istilah tasawuf secara khusus. Istilah ini telah populer dikalangan mereka sebelum abad kedua hijriah”Abdul Qodir Isa, Hakikat Tasawuf, Jakarta Qisthi Press, 2005, Hlm. 12-13. Zuhud dalam Al-Qur‟an Setelah itu perkembangan tasawuf semakin berkembang, sehingga memunculkan dua cabang tasawuf yaitu tasawuf Tarikati yang kemudian dikenal dengan nama Tasawuf Ahli Sunnah, dan Tasawuf Falsafi. Dan ajaran Tasawuf yang dicerna dengan baik oleh seluruh umat Islam di Dunia adalah Tasawuf Tarikati. Menurut Kamil Mushtafa Al-Syibi bahwa tokoh pertama yang memperkenalkan sistem tarikat dalam ajaran tasawuf adalah Abdul Qadir Al-Jailani di Baghdad yang ajarannya menyebar luas di Al-Jazāir, Ghana, dan Indonesia. Dan corak tasawuf falsafi mulai menemukan momentumnya pada abad ke-3 dan ke-4 dengan munculnya al-Husain Ibn Manshūr Al-Hallaj dengan doktrin hululnya. Sehingga pada abad ke-5 H Imam Al-Ghazali tampil untuk menentang jenis-jenis tasawuf yang dianggap tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah dalam upaya untuk mengembalikan tasawuf status semula sebagai jalan zuhud, pendidikan jiwa dan dan pembentukan moral. Dan sejak kemunculan Imam Al-Ghazali Tasawuf semakin menyebar di dunia Islam. Akan tetapi bukan berarti orieantasi tasawuf falsafi pada tataran ide wahdatul wujūd berhenti, pada abad ke-6 H Syaikh Al-Akbar Ibn Al-„Arabi dan diikuti oleh beberapa tokoh tasawuf lain, menggagas ide aliran wahdat al-wujud yang mengarahkan tasawuf pada kebersatuan terhadap Allah. Kemudian dalam wacana polemik dua kutub tasawuf tersebut muncullah seorang tokoh tasawuf yang terinspirasi dengan konsep tasawuf Imam Al-Ghazali yaitu Syaikh Abdul Qadir, dan Syaikh Ahmad Al-Rifā‟i. Dan kemudian setelahnya masih pada abad ke-6 muncul tokoh tasawuf Syaikh Abu Al-Hasan Al-Syadzili yang mencoba untuk menengahi tasawuf Al-Ghazali dengan tasawuf paparan menarik yang diungkapkan oleh Hitti, tentang perkembangan ajaran tasawuf, “Pada mulanya tasawuf berkembang sebagai gaya hidup asketis, lebih khusus lagi kontemplatif, sebagaimana dipraktekan oleh para pendeta kristen. Pada abad ke-2 dan seterusnya tasawuf berkembang menjadi gerakan sinkretis menyerap berbagai elemen dari Kristen, Neo-Platonik, Gnostisisme, dan Budhisme, serta berkembang melalui tahap-tahap mistis, teosofis, dan panteistis. Pakaian wol dipakai diadopsi sebagai pakaian khas mereka, meniru pendeta kristen yang juga Muhammad Solikhin, Menyatu Diri Dengan Ilahi, Yogyakarta Narasi, 2010, Hlm. 25-37. Zuhud dalam Al-Qur‟an menjadi model penerapan gaya hidup selibat yang tidak pernah diterapkan sebelumnya oleh kalangan muslim ortodoks. Praktik meditasi ditempat yang sunyi, dan kebiasaan berjaga malam atau yang semisalnya menunjukkan adanya pengaruh monastik suriah, kelompok sufi yang berkembang pada abad ke-13 M mengembangkan konsep relasi antara guru dengan muridnya. Konsep relasi ini erat hubungannya dengan model relasi antara pendeta dan murid pemula dalam tradisi kristen, juga serupa dengan aliran-aliran monastik lainnya, meskipun ada hadis kondang yang berbunyi, “tidak ada kependetaan rahbaniyyah dalam Islam”. Ritual keagamaan dalam tareqat yang disebut dzikr, merupakan satu-satunya ritual dalam Islam yang rumit dan berbeda dengan praktrik litani dalam kristen. Tradisi-tradisi eskatologis sufi dengan ajaran anti-kristusnya menganjurkan bahwa setiap tarekat mesti mendapatkan pengikut-pengikut baru diantara orang-orang yang baru masuk Islam. Fenomena semacam itu merupakan gambaran dari bentuk-bentuk monoteisme yang lebih tua. Istilah sufi pertama kali dalam literatur arab pada pertengahan abad ke-9 M yang merujuk pada golongan asketis tertentu. Orang pertama yang mendapatkan julukan sufi adalah seorang ahli klenik ternama Jābir Ibn Hayyān w. 776 M yang mengembangkan ajaran asketiknya sendiri. Sufi yang sezaman dengannya, Ibrahim Ibn Adham w. 776 M dari Balkh bisa dijadikan sebagai model gerakan asketisme diam yang muncul paling awal. Berkat rangsangan dari ajaran Kristen dan gagasan Yunani, asketisme Islam berkembang menjadi ajaran mistik mulai abad ke-2 H. Maka setelah itu tasawuf dianggap sebagai manajemen emosi untuk memurnikan jiwa manusia, sehingga asketisme memungkinkan manusia untuk mencintai, mengetahui dan bersatu dengan tuhan. Tetapi sufi pertama dari mazhab mistik, bukan dari mazhab asketik adalah Ma‟rūf Al-Karkhī dari Baghdad yang meninggal pada tahun 815 M. Pada awalnya ia beragam Kristen, atau mungkin penganut kaum Saba. Setelah menjadi orang Sufi, ia diyakini sebagai orang yang terserap dalam mabuk Tuhan, dan dianggap sebagai orang suci atau wali.” Philip Khuri Hitti, History Of The Arabs, Jakarta Serambi, 2006, Terjemahan, Hlm. 547-548. Zuhud dalam Al-Qur‟an Kemudian ditambahkan menurut Ibn Taymiyyah bahwa kata sufiyyah tidak dikenal pada abad ke-3 H, dan ia mulai dikenal setelahnya lewat ucapan-ucapan manusia setelahnya seperti Imam Ahmad Ibn Hambal, Abu Sulaiman Al-Dārāniy dan selain mereka. Dan mereka tidak menetapkan dari mana sebenarnya asal kata tasawuf atau sufi, namun mereka hanya menyebutkan dibeberapa ungkapan mereka tentang nama Tasawuf. Dan menurut Ibn Taymiyyah bisa jadi penamaan kelompok ini dengan nama sufi dikaitkan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya; "Pada suatu ketika, beberapa orang Arab badui datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan mengenakan pakaian dari bulu domba wol. Lalu Rasulullah memperhatikan kondisi mereka yang menyedihkan. Selain itu, mereka pun sangat membutuhkan pertolongan. Akhirnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menganjurkan para sahabat untuk memberikan sedekahnya kepada mereka. Tetapi sayangnya, para sahabat sangat lamban untuk melaksanakan anjuran Rasulullah itu, hingga kekecewaan terlihat pada wajah beliau." MuslimDalam hadis ini diketahui bahwa memakai pakai wol merupakan tanda dari kemiskinan, kelemahan dan kesempitan, dalam hal ini orang-orang yang memakai pakaian wol sudah ada pada masa Nabi SAW. Kemudian dalam hadis riwayat Imam Ahmad juga diutarakan tentang orang-orang yang menemui Nabi SAW. dalam keadaan miskin dimana mereka memakai pakai dari wol; “Telah menceritakan Abu Burdah bin Abdullah bin Qais dari Bapaknya berkata; Bapakku berkata; "Kalaulah kamu tahu apa yang ada pada kami sewaktu kami bersama Nabi Shallallahu'alaihiwasallam ketika kami tengah tertimpa hujan lebat, tentulah kalian mengira bau kami Muslim Ibn Hajjaj Al-Qusairiy An-Naisabūri, Shahīh Muslim, Riyādh Bait Al-Afkar, 1419 H, Bab Zakat, No. 4830 Zuhud dalam Al-Qur‟an adalah bau domba sedang kami memakai kain wol." AhmadPada masa itu pakaian terbaik adalah pakaian yang terbuat dari kapas, maka orang-orang yang miskin tidak akan sanggup membeli pakaian yang terbuat dari kapas sehingga mereka memakai pakaian dari kain wol. Kemudian dalam hadis yang lain yang diriwayatkan dari Imam Muslim dan Ahmad; Dari Nafi' bin Utbah berkata Kami bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam dalam suatu peperangan. Ia berkata Suatu kaum mendatangi nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam dari maghrib, mereka mengenakan baju wool, mereka menemui beliau didekat suatu bukit. Mereka berdiri sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam duduk. Ia Nafi' berkata Hatiku berkata Datangilah mereka dan berdirilah diantara mereka dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam agar mereka tidak menyerang beliau lalu aku berkata Mungkin beliau berbicara lirih dengan mereka. Aku mendatangi mereka lalu aku berdiri diantara mereka dan beliau. Aku menghafal empat kalimat dari beliau, aku menghitungnya dengan tanganku. Beliau bersabda "Kalian akan memerangi jazirah arab lalu Allah menaklukkannya, setelah itu Persia lalu Allah menaklukkannya, kemudian kalian memerangi Romawi lalu Allah menaklukkannya, selanjutnya kalian memerangi Dajjal lalu Allah menaklukkannya." Kemudian Nafi' berkata Hai Jabir, kami tidak berpendapat Dajjal muncul hingga Romawi ditaklukkan. Muslim Muslim Ibn Hajjaj Al-Qusairiy An-Naisabūri, Shahīh Muslim, Riyādh Bait Al-Afkar, 1419 H, Bab Fitnah Dan Tanda Kiamat, No. 5161 Zuhud dalam Al-Qur‟an Inilah hadis-hadis yang menerangkan tentang pakaian wol yang sudah dipakai oleh manusia-manusia yang hidup pada masa Nabi SAW. dimana mereka dilekatkan dengan kemiskinan dan kelemahan. Dari hadis-hadis ini menerangkan bahwa kebayakan masyarakat arab badui yang tinggal diperkampungan-perkampungan yang jauh dari pusat kota mereka memakai pakaian yang terbuat dari kain wol yang berasal dari bulu-bulu domba dan mereka memakai pakaian tersebut baik dalam keadaan panas maupun dalam keadaan dingin. Namun setelah itu, orang-orang yang memakai pakaian wol adalah orang-orang yang hendak menunjukan sifat zuhud, tawādu‟, menjauhi dari kelezatan dunia. Maka dengan ini Imam Ahmad Ibn Hambal, juga Ibn Taymiyyah dan para ulama hadis lebih cendrung mengartikan sufi dengan arti shūf pakaian wol. Dan ada hadis lain yang menguatkan pendapat mereka bahwa pakaian wol merupakan pakaian yang lekat dengan kezuhudan dan ketakwaa, sebuah hadis dari Tirmidzi; Dari Ibnu Mas'ud dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda "Pada hari ketika Rabbnya berbicara dengannya, Musa mengenakan kain wol, jubah wol, peci wol, dan celana panjang dari wol. Sementara kedua sandalnya terbuat dari kulit himar yang telah mati." Ibnu Taymiyyah juga berbicara hakikat dari sufi atau tasawuf dengan menukil perkataan dari para ulama salaf. Muhammad Ibn Sirin menceritakan “telah sampai sebuah kaum yang melebih utamakan dalam memakai pakaian wol, dikatakan bahwa mereka lebih memilih memakai pakaian yang berbahan dari wol, dan mereka mengakui bahwa perbuatan mereka ini mengikuti para pengikut agama Masehi. Dan Nabi SAW telah memberikan petunjuk kepada kita dengan memakai pakaian yang berasal dari kapas.” Pada masa Hasan Al-Bashri juga pernah mendapatkan orang-orang zuhud yang hidup saat memakai pakaian dengan berbahan dari wol, ketika melihat tersebut Ia mengatakan “Petunjuk Nabi kita lebih kita sukai, dan Nabi kita tidak pernah mensyari‟atkan dengan pakaian ini dan juga tidak pernah memerintahkan agar kita memakai pakaian ini, kecuali hal ini merupakan perkara yang baru” Kemudian Malik Ibn Anas Al-„Âmiriy Zuhud dalam Al-Qur‟an telah menuliskan bahwa Hasan Al-Bashri tidak menyukai memakai pakai wol untuk menunjukan dirinya sebagai seorang yang kapan munculnya nama sufi dan penyebutannya, diceritakana dalam sebuah majelis seorang tokoh sufi terkenal di Baghdad Muhammad Ibn Ibrahim Abu Hamzah Al-Shūfi, terdapat Imam Ahmad Ibn Hanbal dalam majelis tersebut dan bertanya kepada Muhammad Ibrahim dengan perkataan “ ” apa jawabannya wahai sufi. Menurut Ibn Taymiyyah, Abu Hamzah w. 289 H adalah orang yang pertama kali yang berbicara tentang madzhab sufi, dintara ajarannya adalah, shafā` al-dzikr ketenangan zikir, jam‟u al-ĥimmah mengumpulkan semangat, al-mahabbah cinta, dan al-syauq kerinduan, dan sebelumnya tidak ada yang berbicara tentang masalah-masalah Ihsan Ilahi Zhahir menyebutkan bahwa munculnya kalimat tasawuf diperselisihkan kapan mulai disebut, seperti Ibnu Jauzi dan Ibn Khaldun juga menyebutkan bahwa hingga abad ke-3 nama ini belum menjadi nama yang dikenal oleh kaum Muslimin. Sirāj Al-Thūsi H tokoh tasawuf mengatakan perihal kemunculan kata tasawuf; Seseorang pernah bertanya tentang tasawuf Kami belum pernah mendengar penyebutkan sufiyyah dari para sahabat Rasulullah SAW. dan juga tidak setelahnya, dan kami tidak mengetahui kecuali adanya ahli ibadah, ahli zuhud, orang-orang yang berpergian, orang-orang miskin, dan tidaklah mereka dikatatan oleh para sahabat Rasulullah SAW. dengan dengan sufi, dan kami katakan wa bi Allah Al-Tawfîq . AbdAl-Qodir Ibn HabibAllah Al-Sindî, Al-Tashawwuf Fi Mîzan Al-Bahts Wa Al-Tahqîq Wa Al-Râd „Alâ Ibn Al-„Arabiy Al-Shūfiy Fî Dhaw`i Al-Kitâb Wa Al-Sunnah, Madinah Maktab Ibn Al-Qayyim, 1410 H hlm. 31-40. AbdAl-Qodir Ibn HabibAllah Al-Sindî, Al-Tashawwuf Fi Mîzan Al-Bahts Wa Al-Tahqîq Wa Al-Râd „Alâ Ibn Al-„Arabiy Al-Shūfiy Fî Dhaw`i Al-Kitâb Wa Al-Sunnah, , Madinah Maktab Ibn Al-Qayyim, 1410 H, Zuhud dalam Al-Qur‟an Sufyan Al-Tsauri menyebutkan bahwa nama Sufi sudah dikenal bahkan jauh sebelum datangnya Islam. Diriwayatkan dari Sufyān Al-Tsauriy bahwa ia berkata Kalau bukan karena Abu Hāsyim Al-Shūfi, maka aku tidak akan tahu tentang kedalaman riya, dan telah disebutkan dalam buku yang mengumpulkan didalamnya informasi tentang Makah dari Muhammad Ibn Ishāq Ibn Yassār dan dari selainnya menyebutkan sebuah peristiwa „Sebelum Islam telah berlalu waktu demi waktu, sampai tidak ada manusia yang tidak thawaf, setelah itu datanglah dari negeri yang jauh seorang sufi yang melakukan thawaf di Kabah dan berlalulah ia, maka jika itu benar maka hal tersebut menjadi tanda bahwa sebelum Islam nama Sufi sudah dikenal, dan nama tersebutkan dihubungkan kepada ahli keutamaan dan dan perbaikan, wa Allah „Alam Dalam penjelasan-penjelasan sebelumnya jelas tidak ada yang bersepakat tentang kapan munculnya tasawuf dan bentuknya. Namun jika kita ringkas perbedaan ini dapat disimpulkan, sufi sudah ada sebelum nabi diutus sebagai Nabi akhir zaman, kemudian hakikat sufi pada awalnya tidak ada karena, seseorang yang dipanggil sufi hanyalah orang salih yang beribadah di kabah dan mengurusi kabah saat itu, pada tahap selanjutnya adalah tidak ada yang dapat meyakinkan kapan tasawuf mulai dipelajar oleh manusia, kecuali setelah abad ke-3 diwilayah Baghdad, dan tokoh pelopornya juga tidak bisa dipastikan siapa, kecuali setelah kemuncul tarikat-tarikat sufi maka pemiliki ajaran tasawuf dilekatkan kepada pemilik tarikat-tarikat tersebut. Ihsan Ilâhi Dzâhir, Al-Tashawwuf Al-Mansya` Wa Al-Mashâdir, 1406 H, Pakistan, Idârah Tarjaman Al-Sunnah, Hlm. 41. Zuhud dalam Al-Qur‟an C. Konsep Al-Quran Tentang Zuhud Zuhud secara bahasa adalah zahada fīhi, zahada „anhu, zuhdan wa zahdan, yaitu berpaling darinya dan meninggalkannya karena menganggap hina, atau menjauhinya karena dosa, dikatakan barang itu zāhid maksudnya barang itu sedikit dan tidak merupakan ungkapan berpalingnya seseorang dari keinginan terhadap sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Meninggalkan indahnya Dunia menuju kepada indahnya Akhirat. Mengosongkan keinginan dalam hati dari segala sesuatu yang tidak bisa dicapai dengan tangannya. Dan ia mengetahui bahwa dunia adalah hanyalah bayang-bayang yang akan sirna, dan angan yang akan berlalu, sebagaimana yang Allah SWT. firmankan dalam QS. Al-Hadīd [57] 20 “Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.” Ibn Katsir menjelaska ghaits adalah hujan yang turun turun setelah para manusia berputus asa dengan datangnya hujan. Kemudian kekaguman para petani terhadap tanamannya seperti kekaguman orang-orang kafir terhadap dunianya, sehingga mereka bersemangat untuk mendapatkannya dan cendrung Al-Hasan juga menjelaskan tentang makna zuhud dengan ungkapan; “Seorang ahli zuhud itu bukanlah mengabaikan harta atau mengharmkan yang halal, akan tetapi engkau menjadikan sesuatu yang Abu Fida‟ Abu Rafi‟, Menjadi Kaya Dengan Menikah, Jakarta Penerbit Replubika, 2007, cet. 3, Hlm. 28. Sa‟īd „Abd Al-„Azhīm, Al-Zuhd Izhad Fī Al-Dunya Yuhbibuka Al-Nās, Iskandariyah Dār Al-Īmān, 2004 M, hlm. 3-4. Muhammad Karīm, Ar-Rājih, Mukhtashar Tafsīr Ibn Katsīr Tafsīr Al-Qur‟ān Al-„Azhīm, Beirut Dār Al-Ma‟rifah, 1420, Jilid 2, Hlm. 595. Zuhud dalam Al-Qur‟an berada dalam genggaman Allah SWT. lebih pasti bagimu dari sesuatu yang ada genggamanmu, dan menjadikan keadaanmu dalam musibah ataupun tidak itu sama, dan menjadikan pujian dan celaan kepadamu dalam kebenaran adalah sama.” Menurutnya Ibn Taymiyyah, zuhud terhadap sesuatu adalah menghilangkan keinginan dan kebencian, maka bukanlah zuhud jika masih memiliki keinginan terhadap sesuatu dan tidak membenci terhadap sesuatu, maka jika seseorang menghilangkan hasrat dan keinginan terhadap sesuatu maka itu adalah zuhud. Kemudian Ibn Taymiyyah kembali melanjutkan tentang hakikat zuhud; Zuhud yang disyariatkan adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat bagi Akhirat, dan percaya dalam hati dengan segala segala sesuatu yang ada pada sisi Allah tidak salah jika seorang zuhud adalah seorang yang fakir lagi miskin, tetapi terkadang seorang ahli zuhud bisa dari orang kaya dan terpandang. Mengenai pembicaraan al-zuhd al-mahmūd zuhud terpuji dan al-zuhd al-madzmūm zuhud tercela, maka Nabi SAW. adalah ahli zuhud diantara manusia lainnya, tapi Ia SAW. tidak menolak materi dan tidak memaksa agar materi itu hilang, dia memakai pakaian yang mudah yang merupakan jenis-jenis pakaian baik dari bahan pakaian yang terbuat dari kapas ataupun wol, dan Nabi SAW. menolak untuk mengkhusus dalam pakaian tertentu terhadap dirinya, atau dengan alasan zuhud Nabi SAW. memutuskan diri terhadap manusia lainnya. Sampai Nabi SAW. pernah berbicara dengan suara yang tinggi kepada para sahabatnya, dengan ucapan “Demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita.” Al-Bukhari, No. 4675Maka jika arti zuhud adalah memutuskan dirinya terhadap dunia, dia tinggalkan hartanya, keluarganya, anak-anaknya, maka ini Fathi Majdi Al-Sayyid, Al-Zuhd Li Al-Imām Abi „Abd Allah Al-Qurthubī, Mesir Maktabah Al-Shahābah, 1408 H. Hlm. 15. Zuhud dalam Al-Qur‟an bukan zuhud yang dimaksud, dan Islam berlepas diri atasnya. Imam Al-Ghazali menyebutkan hakikat dari zuhud, dimana zuhud adalah bentuk keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara syahwat dan pengendalian syahwat; Yang selamat itu hanya satu kelompok, yaitu kelompok yang berjalan diatas petunjuk Rasulullah SAW. dan sahabatnya, ia tidak meninggalkan dunia seluruhnya dan tidak memadamakan syahwat seluruhnya, adapun dunia itu ia akan mengambilnya sesuai dengan kadarnya, adapun berbagai syahwat maka ia akan menekan darinya syahwa yang akan mengeluarkan dari ketaatan terhadap syariat, dia tidak mengikuti mengikuti syahwat, dan ia tidak juga meninggalkan semua syahwat namun ia akan mengikutinya dengan adil, ia tidak meninggalkan segala sesuatu dari Dunia, namun ia mengetahui tujuan dari diciptakannya dunia ini, dan ia menjaga terhadap lingkup tujuanya, ia mengambil dari kekuatan-kekuatan yang ada pada tubuhnya untuk beribadah dan dari tempat tinggalnya yang tidak terjaga dari penjaganya, dari panas dan dingin, begitu juga dari ayat-ayat zuhud tidak ada terma khusus yang memuat kata zuhud, namun ada ayat-ayat yang dapat dikaitkan dengan amal zuhud diantaranya adalah berikut ini Fathi Majdi Al-Sayyid, Al-Zuhd Li Al-Imām Abi „Abd Allah Al-Qurthubī, , Mesir Maktabah Al-Shahābah, 1408 H. Hlm. 15. Fathi Majdi Al-Sayyid, Al-Zuhd Li Al-Imām Abi „Abd Allah Al-Qurthubī, Mesir Maktabah Al-Shahābah, 1408 H. , Hlm. 19. Zuhud dalam Al-Qur‟an a. Al-Qashāsh [28] 77 “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Ibn Katsir menafsirkan pada kalimat dengan arti mempergunakan, dan kata pada kalimat selanjutnya ia katakan dalam tafsirnya “Pergunakanlah segala pemberian Allah SWT. berupa harta yang banyak, kenikmatan yang langgeng, untuk taat kepada Rabbmu dan mendekatkan diri kepada kepada Allah SWT. dengan berbagai bentuk pendekatan yang akan menghasilkan balasan di Dunia dan Akhirat.” Dalam potongan ayat ini anjuran agar kita berperilaku zuhud dalam keadaan kita memiliki harta, karena itu zuhud tidak lantas dia fakir dan miskin, namun tantangan zuhud adalah saat seseorang memiliki harta namun ia mampu menjadikannya semakin dekat dengan Allah SWT. dan ia mampu mendapatkan kebaikan pada dua tempat yaitu dunia dan akhirat. Kemudian pada potongan ayat berikutnya Allah SWT berfirman agar kita tidak melupakan bahagian kita pada dunia ini, mengenai lanjutan ayat ini Ibn Katsir menyatakan; “jangan lupakan bagianmu dari Dunia adalah dari segala sesuatu yang Allah SWT. bolehkan didalamnya, seperti makan, minum, berpakain, bertempat tinggal, menikah, dan sesungguhnya Rabbmu memiliki hak atasmu dan dirimu memiliki hak atas dirimu, dan keluargamu memiliki hak atasmu, dan tetanggamu memiliki hak atasmu maka segala sesuatu memiliki hak atas haknya.”. Pelajaran Zuhud dalam Al-Qur‟an penting pada potongan ayat ini adalah, sifat zuhud tidak menjadikan seseorang harus meninggalkan dunianya, bahkan Allah SWT. berpesan agar seseorang tidak lupa dengan haknya, dan adalah sebuah keniscayaan bahwa setiap hak itu wajib untuk ditunaikan haknya, inilah arti dari kata nashībaka min al-dunyā`, makan, menikah, tempat tinggal, istri, tetangga, yang tidak boleh dillupakan haknya bagi tafsir indah tentang ayat ini diungkapkan oleh Sayyid Quthub dalam kitab tafsirnya dengan memberikan sebuah gambaran tentang keharusan sikap umat Islam atas dunia, dengan mengatakan bahwa “Dalam perintah ini tercermin keseimbangan manhaj Ilahi yang lurus. Manhaj yang menggantungkan hati orang yang memiliki harta dengan akhirat, dan tidak melarangnya untuk mengambil sebagian harta dalam kehidupan dunia ini. Bahkan, manhaj Ilahi ini mendorongnya untuk mencarinya dan menugaskannya untuk melakukan hal itu. Sehingga, ia tidak menjadi sosok yang membenci dunia, menyia-nyiakan dunia ini, dan melemahkan kehidupan ini. Dalam perintah ini tercermin keseimbangan manhaj Ilahi yang lurus. Manhaj yang menggantungkan hati orang yang memiliki harta dengan akhirat, dan tidak melarangnya untuk mengambil sebagian harta dalam kehidupan dunia ini. Bahkan, manhaj Ilahi ini mendorongnya untuk mencarinya dan menugaskannya untuk melakukan hal itu. Sehingga, ia tidak menjadi sosok yang membenci dunia, menyia-nyiakan dunia ini, dan melemahkan kehidupan ini. Karena Allah telah menciptakan kenikmatan dunia ini untuk dinikmati oleh manusia. Juga agar mereka berusaha di muka bumi untuk menyimpan dan menghasilkannya. Sehingga, tumbuhlah kehidupan ini dan terus berkembanglah ia, dan seterusnya terwujudlah kekhalifahan manusia di muka bumi ini. Tapi, dengan catatan bahwa arah mereka dalam menggunakan kenikmatan dunia ini adalah akhirat, sehingga mereka tak menyimpang di jalannya, dan tidak menyibukkan diri dengan kenikmatan dunia sementara melupakan tugastugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Dalam kondisi seperti ini, menikmati kenikmatan dunia menjadi suatu jenis kesyukuran bagi Allah Sang Pemberi nikmat, menerima anugerah-anugerahNya, dan menggunakan nikmat itu. Maka, ia Muhammad Karīm Ar-Rājih, Mukhtashar Tafsīr Ibn Katsīr Tafsīr Al-Qur‟ān Al-„Azhīm, Beirut Dār Al-Ma‟rifah, 1420, Jilid 2, Hlm. 237 Zuhud dalam Al-Qur‟an menjadi suatu bentuk ketaatan, yang Allah akan balas itu dengan kebaikan. Seperti itulah manhaj ini mewujudkan keseimbangan dan keserasian dalam kehidupan manusia, memberikannya kemampuan untuk meningkatkan ruhaninya secara terus-menerus melalui kehidup annya yang alami dan berkeseimbangan-dan manusia tak dilarang untuk merasakan kehidupan ini. Juga tidak menyianyiakan bangunan kehidupan Fitrah. Karena harta ini adalah pemberian dan anugerah dari Allah. Oleh karena itu, terimalah dengan berbuat baik padanya. Berbuat baik dalam menerima harta itu dan berbuat baik ketika menggunakannya Juga berbuat baik dengannya terhadap sesama manusia, berbuat baik dalam perasaan terhadap kenikmatan itu, dan berbuat baik dengan Al-Hadīd [57] 23 “Kami jelaskan yang demikian itu supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”Seorang ahli zuhud adalah seseorang yang tidak mudah untuk berduka cita terhadap kenikmatan yang luput darinya, dan tidak merasa sombong dengan kenikmata yang Allah SWT. karuniakan kepadanya. Ibn Katsīr menafsirkan arti dari kata dengan arti yaitu pemberian kepada kalian. Selanjutnya Ibn Katsīr menjelaskan; Janganlah kalian merasa bangga hati atas manusia terhadap segala sesuatu yang telah dikaruniakan kepada kalian, karena karunia itu bukanlah dari hasil usaha dan kegigihan kalian, karunia itu adalah ketetapan Allah SWT. dan rizkinya yang dikaruniakan kepada kalian, maka janganlah kalian menjadikan karunia Allah SWT. untuk berbuat keburukan dan saling menyombongkan antara manusia. Para Ulama telah menjelaskan bahwa tidak merasa gembira dengan karunia yang Sayyid Quthub, Fī Zhilāl Al-Quran, Juz 11, Jakarta Gema Insani Press, 2007, Hlm. 174. Zuhud dalam Al-Qur‟an Allah SWT. berikan kepadanya dan tidak bersedih jika karunia itu lenyap padanya merupakan tanda kezuhudannya. Bagi ahli zuhud impian tidak akan ia gantung setinggi-tingginya sehingga saat apa yang dia dapat atau yang hendak ia dapat tidak tercapai dia tidak akan merasa kecewa atas keduanya, Imam Ahmad Ibn Hanbal mengatakan; “Tanda dari zuhud adalah pendeknya angan-angan”Dan As-sa‟di mengungkapkan sombongnya seseorang atas nikmat Allah SWT. adalah dalam bentuk ia merasa kenikmatan tersebut adalah hasil usahanya, sehingga ia pasti bersedih, jika ada kenikmatan yang hilang padanya Janganlah berputusasa dan bersedih atas segala sesuatu yang telah terjadi bagi mereka, dari apa-apa yang telah dicita-citakan oleh diri mereka, ilmu tentang mereka telah dituliskan di Al-Lauh Al-Mahfūzh, yang pasti akan terjadi, dan tidak ada jalan untuk menghindarinya, janganlah mereka bergembira dari segala sesuatu yang Allah SWT. telah berikan dengan kegembiraan yang jumawa, karena dengan ilmunya bahwa mereka tidaklah mendapatkannya dengan keadaan mereka dan kekuatan mereka, mereka hanya mendapatkannya dengan karunia Allah SWT. dan dari-Nya, maka hendaknya seseorang menyibukan diri dengan bersyukur, yang paling utama adalah seluruh kenikmatan, dan terhindarnya ia dari murka Alla SWT., dan dengan ini Allah SWT. berfirman “Sesungguhnya Allah SWT. tidak menyukai setiap orang sombong lagi membagakan diri” yaitu kesombongan adalah kekasaran, kekaguman terhadap diri sendiri, dan fakhūr Fathi Majdi Al-Sayyid, Al-Zuhd Li Al-Imām Abi „Abd Allah Al-Qurthubī, Mesir Maktabah Al-Shahābah, 1408 H. Hlm. 18. Zuhud dalam Al-Qur‟an membagakan diri terhadap nikmat Allah dimana ia melekatkannya terhadap Sayyid Quthub juga menjelaskan bahwa, “Meluaskan cakmwala pandangan. berinteraksi dengan alam raya, menggambarkan masa azab dan masa abadi, melihat aneka peristiwa selaras dengan aneka situasinya yang ditakdirkan dalam ilmu Allah dan yang ditetapkan dalam rancangan alam sem&€ta ini, akan membuat jiwa lebih lapang, lebih besar, lebih teguh, dan lebih elastis dalam menghadapi aneka peristiwa yang terjadi tatkala jiwa menying' kap wujud manusia ini yang berjalan seirama dengan gerakan alam semesta. Manusia akan berkeluh-kesah dan merasa terhina oleh berbagai peristiwa tatkala dia memisahkan dirinya dari alam ini dan tatkala memperlakukan berbagai peristiwa sebagai sesuatu yang baru, yang menohok wujud dirinya yang kecil. Namun, tatkala di dalam konsepsi dan perasaannya mengendap pemahaman bahwa dirinya dan aneka peristiwa yang dilaluinya, dilalui orang lain, dan dialami oleh dunia yang hanya bagaikan butiran atom padajagat raya ini telah ditakdirkan, dirancang, dan diketahui dalam ilmu Allah yang tersimpan, maka dia akan merasa tenang dan tenteram dalam menghadapi seluruh peristiwa takdir secara sama. Maka, dia takkan bersedih atas sesuatu yang menyedihkan dan mengguncangkannya. Dia tidak bergembira atas suatu prestasi yang diperolehnya, sehingga membuatnya lalai dan terlena. Namun, dia berlalu bersama takdir Allah dengan kepatuhan dan kerelaan. Kerelaan seorang yang bijak yang memahami bahwa perkara yang telah terjadi merupakan sesuatu yang semestinya terjadi. Itulah derajat yang takkan dapat diraih kecuali oleh segelintir orang. Adapun kaum mukminin lainnya, maka yang dituntut dan' mereka ialah agar pedihnya kemudharatan atau suka citanya kebahagiaan tidak membuatnya keluar dari wilayah pengkonsentrasian diri kepada Allah, mengingat ini dan itu, dan bersikap proposional dalam menghadapi suka dan duka Akramah berkata, ”Tiada seorang pun melainkan dia mengalami kegembiraan dan kesedihan. Namun, jadikanlah kegembiraan syukur dan kesedihan Abdurrahman Ibn Nāshir As-Sa‟diy, Taysīr Al-Karīm Ar-Rahmān Fī Tafsīr Kalām Al-Mannān, Beirut Risalah Publishers, 1423 H, Hlm. 842. Zuhud dalam Al-Qur‟an sebagai kesabaran. Inilah jalan tengah Islam yang dimudahkan bagi Orang. orang stabil.”c. Al-Hadīd [57] 20 “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” Al-Qurthūbi menafsirkan kata laĥwun adalah makan dan minum dengan mengambil penjelasan dari Qatādah, dan masih menurut Al-Qurthūbi dengan menyitir pendapat dari Mujāhid bahwa kata laĥwun adalah semua permainan yang dikenal oleh manusia. Kemudian disebutkan juga termasuk arti dari laĥwun adalah segala sesuatu yang melalaikan seorang atas akhirat, dan juga wanita Al-Qurthubi. Dan kemudian pada ayat ini Allah SWT. menutup dengan kalimat “Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”. Ibn Al-Qayyim mengungkapkan ahli zuhud adalah seseorang yang mengeluarkan dunia dalam hatinya. Karena dunia adalah kesenangan yang menipu, maka tidak pantas jika ia bersemayam dalam hati ahli zuhud Zuhud pada dunia bukan mengosongkannya dari tangan seseorang, dan tidak mengeluarkan dunia dan mengosongkannya darinya, yang dimaksud dengan zuhud terhadap dunia adalah mengeluarkan dunia Sayyid Quthub, Fī Zhilāl Al-Quran, Juz 11, Jakarta Gema Insani Press, 2007, Hlm. 174. Zuhud dalam Al-Qur‟an dari hatimu, dan janganlah berpaling kepada dunia, dan jangan seseorang meniggalkannya untuk bersemayam melanjutkan, hakikat manusia yang tertipu dengan dunia adalah manusia-manusia yang tidak beriman kepada Allah SWT. adapun bagi orang-orang yang beriman mereka menjadikannya sebagai saran untuk memasuki surgaNya. Adapun kehidupan dunia adalah kesenangan yang menipu, ini adalah penegasan pada kalimat sebelumnya, yaitu orang-orang kafir tertipu, adapun orang-orang beriman maka dunia baginya sebagai keindahan yang akan menyampaikannya ke Jannah, dan dikatakan sebuah amal dari kehidupan dunia yang menipu ini adalah zuhud dalam amal untuk dunia, dan semangat untuk amal menuju akhirat Mengenai ayat ini Sayyid Quthub mengungkapkan kata lugas untuk menjadi bekal atas setiap Muslim dalam mengarungi kehidupan ini, “Tatkala kehidupan dunia diukur dengan ukuran duniawi dan ditimbang dengan aneka timbangan duniawi, tampaklah pada mata dan rasa sebagai sesuatu yang besar dan mencengangkan. Namun, tatkala ia diukur dengan timbangan alam nyata dan ditimbang dengan timbangan akhirat, tampaklah sebagai sesuatu yang hina dan tidak berarti. Di sini dunia digambarkan demikian, sehingga ia tampak sebagai permainan anak-anak jika dikaitkan dengan kesungguhan yang ada di akhirat yang menjadi muara seluruh penghuni dunia setelah sebelumnya sebagai mainan kehidupan. Dunia merupakan permainan, sesuatu yang me lalaikan, perhiasan, sarana bermegah megah, dan sarana untuk berbangga bangga. Inilah hakikat yang ada di balik setiap kesungguhan yang menyita perhatian dan setiap kepentingan yang melenakan. Kemudian Al-Qur„an mengilustrasikan dunia dengan contoh yang mengesankan bahwa dunia itu seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani ”. Di sini al-kuffar berarti petani. Fathi Majdi Al-Sayyid, Al-Zuhd Li Al-Imām Abi „Abd Allah Al-Qurthubī, , Mesir Maktabah Al-Shahābah, 1408 H. Hlm. 20. Abu Abdillah Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakr Al-Qurthubi, Jāmi‟ Al-Ahkāam Al-Qur`ān, Beirut Ar-Risālah Publishers, 1428 H, Juz 20, Juz 20 Zuhud dalam Al-Qur‟an Secara lughawi, kafir berarti penanam, karena dia suka “menutupi dan menyelimuti” biji dalam tanah. Namun, pemilihan kata itu di sini juga sebagai sindiran atas kaum kafir yang terpesona oleh kehidupan dunia. “Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning” karena telah dipanen. Tanaman itu memiliki batas akhir, cepat berakhir, dan batas akhirnya itu dekat. “Kemudian ia hancur.” Seluruh rangkaian kehidupan berakhir dalam sosok dinamis seperti itu, yang berasal dari pemandangan yang biasa dilihat manusia. Dunia berakhir dalam pemandangan kehancuran. “Kemudian tanaman itu menjadi kening dan kamu lihat warnanya kuning” karena telah dipanen. Tanaman itu memiliki batas akhir, cepat berakhir, dan batas akhirnya itu dekat. “Kemudian ia hancur .” Seluruh rangkaian kehidupan berakhir dalam sosok dinamis seperti itu, yang berasal dari pemandangan yang biasa dilihat manusia Dunia berakhir dalam pemandangan kehancuran. Adapun persoalan akhirat sungguh berbeda dari persoalan dunia. Suatu persoalan yang layak diperhitungkan, dicermati, dan dipersiapkan. “Dan di akhirat nanti ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya” Akhirat tidak berakhir dalam sekejap seperti halnya dunia. Akhirat tidak berakhir dengan kehancuran seperti halnya tanaman yang telah mencapai batas akhirnya. Akhirat merupakan alam kalkulasi, pembalasan, dan keabadian yang berhak dipentingkan. “Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. ” Al-Hadīd 20. Dunia itu sendiri merupakan kenyataan tatkala kalbu mencari hakikat dengan mendalam. Ia merupakan hakikat yang Al-Qur„an tidak bermaksud memisahkan manusia dari kehidupan dunia dan tidak bermaksud supaya dia mengabaikan pengolahan dan penataannya, karena manusia diserahi pekerjaan ini. Tujuan ayat itu ialah untuk meluruskan ukuran perasaan dan nilai-nilai psikologis serta mengatasi tipuan harta yang cepat sirna serta daya tariknya yang mengikat ke bumi. Pemutusan hubungan atas dunia yang diserukan dalam surah ini sangat diperlukan dalam rangka mengaktualisasikan keimanan yang dibutuhkan oleh setiap mukmin agar dia dapat mewujudkan keyakinannya, walaupun perwujudan itu menuntut supaya mengorbankan seluruh kehidupan dunia. Karena itu, Allah menyeru manusia supaya berkompetisi di arena pertandingan yang hakiki untuk meraih tujuan yang berhak dimiliki oleh pemenang. Zuhud dalam Al-Qur‟an Tujuan yang menjadi akhir tempat kembali mereka; yang memastikan mereka tinggal di alam keabadian. Kesenangan ini tidaklah memiliki substansi karena topangannya berupa tipuan dan kemayaan. Di samping itu, dunia pun melenakan dan melupakan, sehingga membawa pemiliknya kepada bayang-bayang yang menipu.”d. Al-Māidah [5] 87 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Al-Qurthūbi meriwayat dari sanad Al-Thabariy bahwa sebab turunnya dari ayat ini Seseorang datang kepada Nabi SAW. dan berkata Wahai Rasulullah SAW. sesungguhnya aku mendapatkan bagian dari pembagian daging, dan aku mengambilnya dengan syahwatku, maka aku haramkan daging atas diriku, maka Allah SWT. menurunkan ayat ini. Dan juga dikatakan tentang asbab al-nuzūl ayat ini diturunkan dengan sebab adanya sekelompok sahabat Rasulullah SAW. diantara mereka ada Abu Bakar, „Ali, Ibn Mas‟ūd, Abd-Allah Ibn „Umar, Abu Dzār Al-Ghifāri, Sālim Sayyid Quthub, Fī Zhilāl Al-Quran, Juz 11, Jakarta Gema Insani Press, Hlm. 171-172. Zuhud dalam Al-Qur‟an bekas budak Abu Hudzaifah, Miqdād Ibn Al-Aswād, Salman Al-Fārisi, dan Ma‟qil Ibn Muqrin, mereka berkumpul dirumah „Utsmān Ibn Mazh‟ūn, dan mereka bersepakat untuk berpuasa pada siang hari dan shalat malam pada malam hari tanpa tidur diatas kasur, dan mereka juga bersepakat untuk tidak memakan daging, dan juga tidak akan mendekati istri-istrinya dan memakai minyak wangi, dan mereka juga sepakat untuk memakai al-masūh, menolak dunia dan tidak menetap disebuah negeri, mereka merahibkan diri mereka dengan mengantungi alat zikir, maka Allah SWT. turunkan ayat ayat ini Abu Ja‟far menafsirkan Firman Allah SWT. Wahai orang-orang yang jujur kepada Allah SWT. dan RasulNya, dan mereka menetapkan terhadap segala sesuatu yang datang dari Nabi mereka, sesungguhnya Ia SAW. benar dari sisi Allah SWT. “Janganlah kalian mengharamkan yang baik-baik dari apa-apa yang telah Allah SWT. halalkan bagi kalian” yaitu kata “yang baik-baik” adalah kelezatan-kelezatan yang diinginkan oleh jiwa, dan hati cendrung kepadanya, maka mereka mencegahnya, seperti perbuatan para pendeta, maka mereka haramkan atas diri-diri mereka terhadap wanita, makanan-makanan yang baik, minuman-minuman yang lezat, dan sebagian menahan menahan dari lambung sebagian mereka, serta sebagian mereka berjalan dibumi. Allah SWT. menyebutkan maka janganlah kalian melakukannya wahai orang-orang mukmin, seperti perbuatan mereka, dan jangan melanggar batasan Alllah SWT. yang telah dibatasi bagi kalian, dari segala sesuatu yang yang telah Allah Abu Abdillah Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakr Al-Qurthubi, Jāmi‟ Al-Ahkāam Al-Qur`ān, Beirut Ar-Risālah Publishers, 1428 H, Juz 8, Zuhud dalam Al-Qur‟an SWT halallkan bagi kalian, dan yang telah haram bagi kalian, sehingga kalian melampui batasan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, sehingga kalian menyelisihinya dengan itu adalah ketaatannya. Sesungguhnya Allah SWT. tidak mencintai orang-orang yang melanggar batasan yang telah Ia SWT. batatasi atas makhluknya, dari apa-apa yang halal juga Ibn „Âsyūr menjelaskan tentang bolehnya meninggalkan sesuatu dalam baik makan, minum, pakaian dan hal-hal yang berkaitan dengan dunia dalam upaya untuk melatih jiwa agar tidak memiliki ketergantungan atas hal tersebut selama tidak sampai mengharamkan secara mutlak. Dan larangannya hanya dalam pengharaman jiwa atasnya. Adapun meninggalkan untuk memakan dari sebagaian itu disebagian waktu-waktu selama tidak dikuatkan dan untuk maksud pembelajaran terhadap jiwa untuk sabar atas keharaman , maka hal tersebut tidak mengapa dengan ukuran kebutuhan atasnya didalam pelatihan terhadap jiwanya. Dan begitu juga berpaling dari kebayakan yang baik-baik untuk lebih menfokuskan atas ibadah, atau menyibukan dengan amal yang bermanfaat maka hal tersebut lebih tinggi kedudukannya diatas As-Sa‟di menafsirkan Basyar „Awwadh Ma‟ Tafsīr Ath-thabari Min Kitābihi Jāmi‟ Al-Bayān Ta‟wīl Ayy Al-Quran, Beirut Muassasah Ar-Risālah, 1415 H, Hlm. 151. Muhammad Thāhir Ibn „Âsyūr, At-Tahrīr Wa Tanwīr, Juz 9,Tūnis Li Ad-Dār At-Tūnisiyyah Li An-Nasyr, 1984, hlm. 15. Zuhud dalam Al-Qur‟an "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu," dari makanan dan minuman, karena ia adalah nikmat Allah yang Allah berikan kepadamu. Bersyukur dan pujilah Dia, karena Dia telah menghalalkannya untukmu, jangan menolaknya dengan mengkufurinya atau tidak menerima“ nya atau meyakini keharamannya, karena dengan itu kamu menggabungkan antara berdusta atas Nama Allah dengan mengkufuri nikmatNya dan meyakini yang halal lagi baik sebagai yang haram lagi buruk; karena ini termasuk melanggar batas, dan Allah melarang perbuatan melampaui batas. Dia berfirman, "Dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas," bahkan Dia membenci, memurkai, dan akan menghukum mereka atas hal itu.”.As-Sa‟di menekankan agar setiap mukmin dia mau menerima semua kenikmatan yang telah dihalalkan oleh Allah SWT. serta tidak menolaknya karena hal yang demikian merupakan bentuk pembakangan atas perintah Allah SWT. agar setiap mukmin memakan makanan yang halal lagi baik. Faidah dari ayat ini adalah tidaklah dimaksud zuhud adalah membeci dunia, adalah Sulaiman dan Daud Alaihima Al-Salām diantara ahli zuhud pada zaman mereka berdua, keduanya memiliki harta, kerajaan, dan Istri, bahkan Nabi Muhammad SAW. adalah manusia yang paling zuhud secara mutlak namun Nabi SAW. memiliki istri sembilan orang. Dan juga Ali Ibn Abi Thālib, Abdurrahmān Ibn Al-„Auf, Zubair dan „Utsman adalah para ahli zuhud dan mereka tetap memeliki harta bahkan diatara mereka memiliki harta yang banyak. Imam Ahmad pernah ditanya tentang sesorang ahli zuhud apakah boleh memiliki harta maka dijawab oleh Imam Ahmad; “Iya jika ia tidak bergembira dengan bertambahnya harta dan tidak merasa sedih dengan berkurangnya harta.”Abdurrahman Ibn Nāshir As-Sa‟diy, Taysīr Al-Karīm Ar-Rahmān Fī Tafsīr Kalām Al-Mannān, Beirut Risalah Publishers, 1423 H, Sa‟īd „Abd Al-„Azhīm, Al-Zuhd Izhad Fī Al-Dunya Yuhbibuka Al-Nās, Iskandariyah Dār Al-Īmān, 2004 M , Zuhud dalam Al-Qur‟an Maka dari empat ayat beserta tafsirnya, maka dapat diambil konsep zuhud dalam Al-Quran yaitu, kesederhanaan, kesabaran, wara‟, dan keseimbangan tawāzun D. Penutup Zuhud merupakan cara hidup yang mulia, dimana seluruh orang salih telah menjalani, dan dengan begitu hal tersebut menjadi teladan bagi orang-orang setelahnya. Untuk menempuh jalan zuhud Al-Quran telah memberikan rambu-rambu dan panduannya agar setiap manusia tidak salah dalam memahami jalan hidup zuhud. Diantara ayat-ayat yang berkaitan dengan zuhud adalah pada Al-Hadīd [57] 20 dan 23, Al-Qashāsh [28] 77, dan Al-Mā`idah [5] 87. Adapun hasil penelitian pada makalah ini dapat mengeluarkan empat sikap zuhud dalam Al-Quran; kesederhanaan, kesabaran, wara‟ dan keseimbangan hidup tawāzun Sebenarnya masih banyak lagi ayat-ayat yang dapat dieksplor untuk diambil faidah hakikat zuhud, namun dikarenakan keterbatasan waktu, kajian tentang zuhud dalam Al-Quran kami cukupkan, saran kami agar kajian ini dapat dikembangkan oleh para pemateri lainnya. Dan harapan kami agar makalah dapat bermanfaat untuk kaum Muslimin. Zuhud dalam Al-Qur‟an Daftar Pustaka Abd Al-„Azhīm, Dr. Sa‟īd „, Al-Zuhd Izhad Fī Al-Dunya Yuhbibuka Al-Nās, Iskandariyah Dār Al-Īmān, 2004 Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi Bakr, Jāmi‟ Al-Ahkāam Al-Qur`ān, Beirut Ar-Risālah Publishers, Juz H. Al-Sindî, Abdul Qadir Ibn Habibullah, Al-Tashawwuf Fi Mîzan Al-Bahts Wa Al-Tahqîq Wa Al-Râd „Alâ Ibn Al-„Arabiy Al-Shūfiy Fî Dhaw`i Al-Kitâb Wa Al-Sunnah, Madinah Maktab Ibn Al-Qayyim, 1410 H. As-Sa‟diy, Abdurrahman Ibn Nāshir, Taysīr Al-Karīm Ar-Rahmān Fī Tafsīr Kalām Al-Mannān, Beirut Risalah Publishers, 1423 H. Aziz, Safrudin, Pendidikan Seks Berbasis Terapi Sufistik Bagi LGBT, Penerbit ernest, 2017, Kendal. Banâni, Dr. Ahmad Ibn Muhammad, Mawqifu Al-Imâm Ibn Taymiyyah Min Al-Tashawwuf wa Al-Shūfiyyah, Riyadh Dâr Al-Ilm, 1406 H. Dimyati, Drs. Ahmad, Dakwah Personal Model Dakwah Kaum Naqsanbadiyah, Yogyakarta Penerbit Deepublish, 2016. Dewi, Rani Anggraini, Menjadi Manusia Holistik , Jakarta Penerbit Hikmah, 2006. Himawijaya, Mengenal Al-Ghazali For Teens Keraguan Adalah Keyakinan, Bandung Dar! Mizan , 2004. Huda, Sokhi, Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah, Yogyakarta LKiS Yogyakarta, 2008. Hitti, Philip Khuri, History Of The Arabs , Jakarta Serambi, 2006, Terjemahan. Ibrahim, Muhammad Zaki, Tasawuf Hitam Putih, Solo Penerbit Tiga Serangkai, 2006, cet. 2. Ibn „Âsyūr, Muhammad Thāhir, At-Tahrīr Wa Tanwīr, Juz 9,Tūnis Li Ad-Dār At-Tūnisiyyah Li An-Nasyr, 1984 Zuhud dalam Al-Qur‟an Isa, Abdul Qodir, Hakikat Tasawuf, Jakarta Qisthi Press, 2005. Kafie, Jamaluddin, Tasawuf Kontemporer, Jakarta Mutiara Al-Amin Prenduan, 2003. Ma‟rūf , Dr. Basyar „ Tafsīr Ath-thabari Min Kitābihi Jāmi‟ Al-Bayān Ta‟wīl Ayy Al-Quran, Beirut Muassasah Ar-Risālah, 1415 H. Muslim Ibn Hajjaj Al-Qusairiy An-Naisabūri, Shahīh Muslim, Riyādh Bait Al-Afkar, 1419 H. Salahudin, Asep, Abah Anom Wali Fenomenal Abad 21 & Ajarannya, Jakarta Penerbit Noura Books, 2013. Solikhin, KH. Muhammad, Filsafat dan Metafisika Dalam Islam Sebuah Penjelajahan Pengalaman Mistik, Dan Perjalan Aliran Manunggaling Kawula Gusti, Yogyakarta Penerbit Narasi, 2008. Solikhin, Muhammad, Menyatu Diri Dengan Ilahi, Yogyakarta Narasi, 2010. Triana, Rumba, Tafsir Ayat-ayat Jihad Dalam Al-Quran, Bogor Jurnal Al-Tadabbur Jurnal Ilmu Al-Quran dan Tafsir ,2017. Quthub, Sayyid, Fī Zhilāl Al-Quran, Jakarta Gema Insani, Press. 2004 Zhâhir, Ihsan Ilâhi, Al-Tashawwuf Al-Mansya` Wa Al-Mashâdir, H, Pakistan, Idârah Tarjaman Al-Sunnah. 1406 H. Zhāhir, Ihsan Ilāhi, Darah Hitam Tasawuf Studi Kritis Kesesastan Kaum Sufi, Jakarta Darul Haq, 2006 M. Zhâhir, Ihsan Ilâhi, Al-Tashawwuf Al-Mansya` Wa Al-Mashâdir Pakistan Idârah Tarjaman Al-Sunnah, 1406 H. _____,Majalah Cahaya Nabawi Memahami Tasawuf, Edisi 155, Desember 2016, hlm 27-28 ... Jalaludin, Zainil Ghulam, & Abdul Ghofur, 2021 Artinya dakwah merupakan sebuah seruan dan ajakan kepada manusia untuk kejalan Allah yakni Islam. Adapun ayat-ayat dakwah yang sering dijadikan sebagai dasar pelaksanaan dakwah antara lain; an-Nahl; 125, al-Imran; 104 dan 110, Yusuf; 108 dan Fushilat 33 Triana 2017. ...Muhamad Bisri MustofaMachfudz FauziRahmat HidayatSiti WuryanDa'wah and society are complementary sides of the coin in the process of Islamic da'wah. Da'i and the community who are both elements of da'wah become vital objects in the process of success of da'wah. Da'wah that is oriented to an individual piety and generally social must pay attention to things that are very urgent, namely the local wisdom of the local community. For example in the hegemony of the struggle and the long journey of da'wah in Indonesia, which lives with the heterogeneity of society and the majority is Muslim and has religious characteristics. Differences in race, ethnicity, culture, ethnicity, language, and accent from various regions are used as the foundation and fundamental value of religious religiosity as a belief. As a form of purification and for the effectiveness of the implementation of da'wah, every da'wah interpreter or dai must rely on the texts of the Qur'an and Hadith. Expertise in an effort to respond to the conditions of the community that he will preach is a form and management of da'wah that must be organized from a da'wah interpreter. In addition, the Indonesian people have a plural society structure. Then if every dai or da'wah interpreter pays attention to the conditions of this very pluralistic society, it will certainly affect all kinds of da'wah strategies that will be launched to the community. The needs and desires of the diverse plural society in discussing religion must be considered and able to be captured by the da'wah interpreter in concocting his da'wah so that it reaches a pluralistic society like Indonesia. And such da'wah should be a special concern of da'wah activists and each da'i is expected to be able to carry out his da'wah to be able to maximize the aspect of religious development for the people. So there are various Islamic studies that can be used as a stepping stone in determining the direction of da'wah, especially in Islamic society and in general pluralistic society in Indonesia. The conception of da'wah that includes the social, cultural, emotional arguments of the community is expected to be able to answer all the challenges of da'wah in the pluralistic body of society. It is used as a form to build an ideal society khoirul ummah as a form of manifestation of the development of the ummah firmly. The nature of Islam that the lil a'lamin is felt to be enough can be an injection that the empowerment of the Muslim community both mentally and spiritually in the effort to realize the welfare and unity of the ummah is very appropriate. Other forms are religious social and national social. These are the pluralistic values embraced by the majority of Indonesian HudaTasawuf KulturalHuda, Sokhi, Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah, Yogyakarta LKiS Yogyakarta, HittiKhuriHitti, Philip Khuri, History Of The Arabs, Jakarta Serambi, 2006, IbrahimZakiIbrahim, Muhammad Zaki, Tasawuf Hitam Putih, Solo Penerbit Tiga Serangkai, 2006, cet. 2.
2 Majalah al-Manar, yang pertama kali terbit pada tahun 1315 H/1898 M dan. akhir terbitnya itu pada edisi 35 tanggal 29 Rabiuts Tsani 1354 H/1935 M. Di. tiap edisi banyak mencantumkan pendapat-pendapat beliau dalam. pembaharuan agama dan politik. 3. Tarikh al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh, terdiri 3 jilid. 4.
Bismillah, pada kesempatan kali ini kami akan coba membahas terkait makna zuhud. Semoga dengan pembahasan ini kita tidak salah lagi dalam mengartikan makna Rajab rahimahullah mengatakanKesimpulannya, zuhud terhadap dunia bisa ditafsirkan dengan tiga pengertian yang kesemuanya merupakan amalan hati dan bukan amalan tubuh. Oleh karenanya, Abu Sulaiman mengatakan,لَا تَشْهَدْ لِأَحَدٍ بِالزُّهْدِ، فَإِنَّ الزُّهْدَ فِي الْقَلْبِ“Janganlah engkau mempersaksikan bahwa seorang itu telah berlaku zuhud secara lahiriah, karena zuhud itu letaknya di hati”Makna pertamaMakna KeduaMakna KetigaMakna pertamaMakna zuhud yang pertama adalah hamba lebih meyakini rezeki yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tangannya. Hal ini tumbuh dari bersih dan kuatnya keyakinan, karena sesungguhnya Allah telah menanggung dan memastikan jatah rezeki setiap hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا ٦“Dan tidak ada suatu binatang melata[709] pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya [Huud 6].Dia juga berfirman,وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ ٢٢“Dan di langit terdapat sebab-sebab rezekimu dan terdapat pula apa yang dijanjikan kepadamu [Adz Dzaariyaat 22].فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ ١٧“Maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia [Ankabuut 17].Al Hasan mengatakan,إِنَّ مِنْ ضَعْفِ يَقِينِكَ أَنْ تَكُونَ بِمَا فِي يَدِكَ أَوْثَقَ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ“Salah satu bentuk lemahnya keyakinanmu terhadap Allah adalah anda lebih meyakini apa yang ada ditangan daripada apa yang ada di tangan-Nya”.Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan,إِنَّ أَرْجَى مَا أَكُونُ لِلرِّزْقِ إِذَا قَالُوا لَيْسَ فِي الْبَيْتِ دَقِيقٌ“Momen yang paling aku harapkan untuk memperoleh rezeki adalah ketika mereka mengatakan, “Tidak ada lagi tepung yang tersisa untuk membuat makanan di rumah”Masruq mengatakan,إِنَّ أَحْسَنَ مَا أَكُونُ ظَنًّا حِينَ يَقُولُ الْخَادِمُ لَيْسَ فِي الْبَيْتِ قَفِيزٌ مِنْ قَمْحٍ وَلَا دِرْهَمٌ“Situasi dimana saya mempertebal husnuzhanku adalah ketika pembantu mengatakan, “Di rumah tidak ada lagi gandum maupun dirham.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah 34871; Ad Dainuri dalam Al Majalisah 2744; Abu Nu’aim dalam Al Hilyah 2/97].Imam Ahmad mengatakan,أَسَرُّ أَيَّامِي إِلَيَّ يَوْمٌ أُصْبِحُ وَلَيْسَ عِنْدِي شَيْءٌ“Hari yang paling bahagia menurutku adalah ketika saya memasuki waktu Subuh dan saya tidak memiliki apapun.” [Shifatush Shafwah 3/345].Abu Hazim Az Zahid pernah ditanya,مَا مَالُكَ؟“Apa hartamu”,beliau menjawab,لِي مَالَانِ لَا أَخْشَى مَعَهُمَا الْفَقْرَ الثِّقَةُ بِاللَّهِ، وَالْيَأْسُ مِمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ“Saya memiliki dua harta dan dengan keduanya saya tidak takut miskin. Keduanya adalah ats tsiqqatu billah yakin kepada Allah dan tidak mengharapkan harta yang dimiliki oleh orang lain [Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah 963; Abu Nu’aim dalam Al Hilyah 3/231-232].Pernah juga beliau ditanya,أَنَا أَخَافُ الْفَقْرَ وَمَوْلَايَ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى؟ !“Tidakkah anda khawatir akan kefakiran?” Beliau menjawab, “Bagaimana bisa saya takut fakir sementara Pemelihara-ku memiliki segala yang ada di langit, bumi, apa yang ada diantara keduanya, dan di bawah tanah.”Selembar kertas pernah diserahkan kepada Ali ibnu Muwaffaq, dia pun membacanya dan di dalamnya tertulis,يَا عَلِيَّ بْنُ الْمُوَفَّقِ أَتَخَافُ الْفَقْرَ وَأَنَا رَبُّكَ؟“Wahai Ali ibnul Muwaffaq, masihkah engkau takut akan kefakiran sementara Aku adalah Rabb-mu?”Al Fudhai bin Iyadh mengatakan,أَصْلُ الزُّهْدِ الرِّضَا عَنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ“Akar zuhud adalah ridha terhadap apa yang ditetapkan Allah azza wa jalla.” [Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah 960, 3045; Abu Abdirrahman As Sulami dalam Thabaqatush Shufiyah 10].Beliau juga mengatakan,الْقَنُوعُ هُوَ الزُّهِدُ وَهُوَ الْغِنَى“Qana’ah puas atas apa yang diberikan oleh Allah ta’ala merupakan sikap zuhud dan itulah kekayaan yang sesungguhnya.”Dengan demikian, setiap orang yang merealisasikan rasa yakin kepada Allah, mempercayakan segala urusannya kepada Allah, ridha terhadap segala pengaturan-Nya, memutus ketergantungan kepada makhluk baik rasa takut dan harapnya, dan semua hal tadi menghalanginya untuk mencari dunia dengan sebab-sebab yang dibenci, maka setiap orang yang keadaannya demikian sesungguhnya dia telah bersikap zuhud terhadap dunia. Dia termasuk orang yang kaya meski tidak memiliki secuil harta dunia sebagaimana yang dikatakan oleh Ammar,كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا، وَكَفَى بِالْيَقِينِ غِنًى، وَكَفَى بِالْعِبَادَةِ شُغُلًا“Cukuplah kematian sebagai nasehat, yakin kepada Allah sebagai kekayaan, dan ibadah sebagai kesibukan.” [Diriwayatkan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 10556 dari Ammar bin Yasar secara marfu’].Ibnu Mas’ud mengatakan,الْيَقِينُ أَنْ لَا تُرْضِيَ النَّاسَ بِسُخْطِ اللَّهِ، وَلَا تَحْمَدَ أَحَدًا عَلَى رِزْقِ اللَّهِ، وَلَا تَلُمْ أَحَدًا عَلَى مَا لَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ، فَإِنَّ الرِّزْقَ لَا يَسُوقُهُ حِرْصُ حَرِيصٍ، وَلَا يَرُدُّهُ كَرَاهَةُ كَارِهٍ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى – بِقِسْطِهِ وَعِلْمِهِ وَحُكْمِهِ – جَعَلَ الرَّوْحَ وَالْفَرَحَ فِي الْيَقِينِ وَالرِّضَا، وَجَعَلَ الْهَمَّ وَالْحُزْنَ فِي الشَّكِّ وَالسُّخْطِ“Al Yaqin adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allah, engkau tidak memuji seseorang demi mendapatkan rezeki yang berasal dari Allah, dan tidak mencela seseorang atas sesuatu yang tidak diberikan Allah kepadamu. Sesungguhnya rezeki tidak akan diperoleh dengan ketamakan seseorang dan tidak akan tertolak karena kebencian seseorang. Sesungguhnya Allah ta’ala –dengan keadilan, ilmu, dan hikmah-Nya- menjadikan ketenangan dan kelapangan ada di dalam rasa yakin dan ridha kepada-Nya sserta menjadikan kegelisahan dan kesedihan ada di dalam keraguan dan kebencian” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin 118 dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 209].Di dalam sebuah hadits mursal disebutkan bahwa nabi shallallahu alaihi wa sallam berdo’a dengan do’a berikut,اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيمَانًا يُبَاشِرُ قَلْبِي، وَيَقِينًا [صَادِقًا] حَتَّى أَعْلَمَ أَنَّهُ لَا يَمْنَعُنِي رِزْقًا قَسَمْتَهُ لِي، وَرَضِّنِي مِنَ الْمَعِيشَةِ بِمَا قَسَمْتَ لِي“Ya Allah saya memohon kepada-Mu iman yang mampu mengendalikan hatiku, keyakinan yang benar sehingga saya mengetahui bahwasanya hal itu tidak menghalangi rezeki yang telah Engkau bagikan kepadaku, dan jadikanlah saya ridha atas sumber penghidupan yang telah Engkau bagikan kepadaku.” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin 112].Dulu, Atha Al Khurasani tidak akan beranjak dari majelisnya hingga mengucapkan,اللَّهُمَّ هَبْ لَنَا يَقِينًا مِنْكَ حَتَّى تُهَوِّنَ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا، وَحَتَّى نَعْلَمَ أَنَّهُ لَا يُصِيبُنَا إِلَّا مَا كَتَبْتَ عَلَيْنَا، وَلَا يُصِيبُنَا مِنَ الرِّزْقِ إِلَّا مَا قَسَمْتَ لَنَا“Ya Allah, berilah kami rasa yakin terhadap diri-Mu sehingga mampu menjadikan kami menganggap ringan musibah dunia yang ada, sehingga kami meyakini bahwa tidak ada yang menimpa kami kecuali apa yang telah Engkau tetapkan kepada kami, dan meyakini bahwa rezeki yang kami peroleh adalah apa yang telah Engkau bagi kepada kami.” [Driwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin 108].Diriwayatkan kepada kami secara marfu’ bahwa Ibnu Abbas mengatakan,مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُونَ أَغْنَى النَّاسِ، فَلْيَكُنْ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ أَوْثَقَ مِنْهُ بِمَا فِي يَدِهِ“Barangsiapa yang suka menjadi orang terkaya, maka hendaklah dia lebih yakin terhadap apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tangannya.” [Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah 3/218-219; Al Qadha’i dalamMusnad Asy Syihab 367 & 368 dari hadits Abdullah bin Abbas].Baca Juga Fatwa Ulama Apa Perbedaan Zuhud Dan Wara’ ?Makna KeduaMakna zuhud yang kedua adalah apabila hamba tertimpa musibah dalam kehidupan dunia seperti hilangnya harta, anak, atau selainnya, maka dia lebih senang memperoleh pahala atas hilangnya hal tersebut daripada hal itu tetap berada di sampingnya. Hal ini juga muncul dari sempurnanya rasa yakin kepada dari Ibnu Umar bahwa nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata dalam do’anya,اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا“Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini.” [HR. Tirmidzi 3502; An Nasaai dalam Amalul Yaum wal Lailah 402; Al Hakim 1/528; Al Baghawi 1374. At Tirmidzi mengatakan, “Hadits hasan gharib”].Do’a tersebut merupakan tanda zuhud dan minimnya kecintaan kepada dunia sebagaimana yan dikatakan oleh Ali radhiallahu anhu,مَنْ زَهِدَ الدُّنْيَا، هَانَتْ عَلَيْهِ الْمُصِيبَاتُ“Barangsiapa yang zuhud terhadap dunia, maka berbagai musibah akan terasa ringan olehnya.”Makna KetigaMakna zuhud yang ketiga adalah hamba memandang sama orang yang memuji dan mencelanya ketika dirinya berada di atas kebenaran. Hal ini merupakan tanda bahwa dirinya zuhud terhadap dunia, menganggapnya sebagai sesuatu yang remeh, dan minimnya kecintaan dirinya kepada setiap orang yang mengagungkan dunia akan cinta kepada pujian dan benci pada celaan. Terkadang hal itu menggiring dirinya untuk tidak mengamalkan kebenaran karena takut celaan dan melakukan berbagai kebatilan karena ingin demikian, setiap orang yang memandang sama orang yang memuji dan mencelanya ketika dirinya berada di atas kebenaran, maka hal ini menunjukkan bahwa jabatan/kedudukan yang dimiliki manusia tidaklah berpengaruh di dalam hatinya dan juga menunjukkan bahwa hatinya dipenuhi rasa cinta akan kebenaran serta ridha kepada Allah. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud,الْيَقِينُ أَنْ لَا تُرْضِيَ النَّاسَ بِسُخْطِ اللَّهِ“Yakin itu adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan cara menimbulkan kemurkaan Allah. Dan sungguh Allah telah memuji mereka yang berjuang di jalan-Nya dan tidak takut akan celaan.”Sumber Jami’ul Ulum wal Hikam hlm. Juga Antara Zuhud Sunni dan Zuhud Sufi—Penulis Muhammad Nur Ichwan MuslimArtikel
.